Bullying

13 2 6
                                    


Karya Ana Muslimah

Assalamualaikum... perkenalkan, namaku Aina. Aku seorang ibu rumah tangga dengan beberapa aktivitas sambilan di luar rumah. Usiaku 33 tahun. Aku tinggal di daerah terpencil di Jawa Tengah tepatnya di desa kaki gunung Lawu. Tempat tinggalku jauh dari tempat lahirku. Aku hanya berkesempatan menjenguk ibuku satu atau dua kali dalam setahun.

Mudik lebaran kali ini sengaja aku habiskan bersama anak-anak di kampung halaman. Selain karena aku sangat merindukan suasana kampung yang sunyi dan tentram, aku ingin sekali menjenguk teman-temanku semasa sekolah dulu.

Mereka semua juga sudah berkeluarga sama sepertiku. Kecuali, satu temanku yang kurasa nasibnya kurang beruntung. Ah...tidak, aku yakin itu sudah menjadi bagian hidupnya. Allah memiliki banyak cara untuk menunjukkan kekuasaanNya, termasuk kepada satu temanku itu, serta keluarganya.

Hari keduaku di kampung, ku pergi ke rumah teman masa kecilku, Fathimah. Usianya sama sepertiku, karena kami dulu memang satu kelas dari kelas TK sampai Tsanawiyah. Akan tetapi tepat di pertengahan semester pertama di kelas dua, orang tuanya memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah anak sulungnya itu. Banyak faktor penyebabnya, aku dan teman-teman dari SD pun telah memahaminya, selain karena faktor ekonomi, Fatimah termasuk anak yang kelewat pendiam. Di mana pun kami berkumpul dia hanya diam di tempat duduknya. Kami pun bosan karena harus memanggilnya tiap kali ingin pergi ke suatu tempat, ke kantin, ke masjid atau kemanapun kami ingin berkumpul bersama. Hal ini yang menjadikan kami sering dapat teguran dari para guru. Dari semua murid perempuan yang hanya berjumlah enam anak, Fatimah selalu tertinggal. Bukan maksud kami ingin meninggalkannya, tapi terkadang kami sibuk dengan sesuatu yg menarik sampai kami lupa untuk selalu mengajaknya. Jikalau anak-anak seusia kami waktu itu tertarik untuk berjalan santai mengitari kelas-kelas atau bahkan gedung sekolah seusai jajan di kantin, teman kami yang satu itu hanya akan berdiam diri di tempatnya. Dia normal dan sehat, entah kenapa dia suka sekali diam di tempat jika tidak dipanggil. Saat kami memintanya untuk bercerita tentang adik-adik nya yang entah berapa jumlahnya. Dia hanya akan bercerita beberapa kalimat saja. Kami tidak memaksanya untuk bercerita banyak, dia bersedia berbicara itu pun kami sudah sangat bahagia. Keterdiamannya tidak kami permasalahkan. Toh, kami tidak dirugikan sama sekali. Namun, lain halnya ketika kami kedatangan murid baru. Saat kami mulai duduk di bangku kelas empat. Namanya Farah. Dari segi penampilan, lumayan, meski sebenarnya pakaian yang ia kenakan bonus dari pedagang-pedagang tempat ibunya membeli bahan-bahan untuk warung kecil di rumahnya. Hanya barang gratisan sebenarnya, tapi kami tidak sekaya itu. Mungkinkah karena kami terlalu merendah padanya hingga dia merasa lebih dari yang lainnya. Padahal sejujurnya kami lebih takut pada postur tubuhnya dan juga bentuk mukanya yang ku rasa menyeramkan meski saat tertawa. Ngeri banget. Belum lagi bicaranya yang lebih sering meremehkan orang lain. Tidak jarang ia suka menuduh teman melakukan kesalahan yang tidak pernah dilakukannya. Kalau dipikir-pikir, ia tak punya kelebihan yang menonjol. Sebab nilainya selalu beberapa tingkat di bawahku. Oh iya, peringkat kedua selalu didapatkan Fatimah, temanku yang pendiam itu diam-diam memiliki nilai akademik yang sangat baik, karena itu Farah seakan menyimpan dendam padanya.

Setelah kedatangannya, banyak sesuatu yang seharusnya kami hindari malah kami biarkan terjadi begitu saja. Teman kami yang paling pendiam pun menjadi bulan-bulanan atas ketajaman lisan murid baru. Segala yang dikenakan dan apapun yang dilakukan Fatimah terlihat buruk di mata Farah. Berulang kali Fatimah mendapat teguran yang merendahkannya.

"Kenapa kau pakai tas itu? buku pelajaran kita kan banyak. Harusnya kau beli tas yang lebih besar," hardiknya kala itu. Fatimah hanya menanggapinya dengan senyum.

"Kenapa hanya senyum-senyum?" Lanjutnya tak mau berhenti meremehkan.

" Ibuku bilang tas ini masih bisa digunakan,"

"Ow.. akhirnya bisa menjawab sekarang," jawab Farah seraya mengambil tas Fatimah. Lalu ia mengeluarkan seluruh isi tas.

Kami hanya diam melihatnya. Meski kami tahu itu tidak benar, tapi kami tidak peduli. Fatimah pasti akan baik-baik saja. Sama seperti hari-hari sebelumnya. Apapun yang kami lakukan kami pikir tidak berdampak apapun padanya, termasuk meninggalkannya sendirian di kelas saat bel istirahat berbunyi. Kami terlalu bosan untuk selalu mengingatkannya untuk ikut. Bukan hanya itu, saat kami berkumpul bercanda bersama ia hanya diam saja, kami pun bingung bagaimana cara mengajaknya bercerita seperti teman-teman yang lain.

Beberapa bulan sebelum kenaikan kelas, kami mengikuti extrakulikuler yang begitu padat. Pelajaran tambahan dibimbing langsung oleh guru baru yang usianya masih remaja.

Aku merasa guru tersebut lebih sering memanggil nama Fatimah untuk sekedar membaca ulang pelajaran ataupun pengerjaan tugas secara lisan di kelas. Ada rasa tak nyaman, tapi aku berusaha menepisnya, karena aku sendiri diberinya tanggung jawab di bidang lain. Aku berusaha untuk berbaik sangka, karena aku sendiri tidak tau, bisa jadi temanku yang lain iri terhadapku. Berbeda dengan Farah, ia sangat murka terhadap Fatimah. Pernah suatu ketika saat guru baru telah usai dari mengajar dan keluar dari kelas. Kami yang sudah merasa sangat capek belajar seharian, serempak duduk diatas meja. Kecuali Fatimah tentunya. Ia masih setia duduk di kursinya. Melihat itu, Farah terlihat mengambil kesempatan untuk membully-nya. Dengan angkuhnya, ia menegur Fatimah tanpa tahu bahwa sebenarnya pak guru belum sepenuhnya pergi. Aku pun penasaran kenapa tidak ada suara sepatu menjauh meski pak guru sudah menghilang dari pandangan.

Aku memilih untuk berjalan keluar. Benar saja, pak guru masih berdiri di balik pintu kelas, tapi kemudian berjalan menjauh tatkala aku sudah berdiri di depan pintu.

Terburu-buru aku mengabarkan teman-temanku kalau ternyata ketika si Farah membully Fatimah, pak guru masih di balik dinding kelas dan tidak mungkin beliau tidak mendengar ucapannya.

" Bisa jadi pak guru sengaja ingin tahu apakah kita sering membully Fatimah," ujarku khawatir.

" tak perlu risau, paling juga pak guru ga bakal negur kita," jawabnya percaya diri.

Tidak hanya sampai di situ, bahkan saat kami telah duduk di kelas Tsanawiyah, tak henti-hentinya Farah mencemooh serta memojokkan kondisi Fatimah yang menurutnya sangat di bawah levelnya. Ternyata belajar di sekolah Islam selama beberapa tahun pun tak bisa mengubahnya menjadi pribadi yang lebih baik. Justru sebaliknya semakin bertambah usianya semakin menjadi perilaku buruknya. Bukan hanya satu atau dua murid yang mengeluhkan kehilangan barang maupun makanan dari lemari mereka masing-masing. Lemari asrama yang tanpa kunci sangat memudahkan bagi seseorang untuk membukanya.

Berulang kali Farah mendapatkan peringatan dari pihak kepala sekolah. Namun perilaku buruknya hanya akan berhenti sebentar dan akan berlanjut di beberapa waktu kemudian. Tak terkecuali dendamnya pada Fatimah. Sampai hingga batas waktu yang Fatimah sendiri mungkin sudah lelah menahan semua hinaan yang membebani mentalnya. Hingga ia terjatuh sakit. Saat malam hari tiba ia akan berteriak minta tolong dan mengaku melihat lampu terbang memasuki kamar asrama. Masih banyak hal lain yang menurut kami hanya sebuah halusinasi akibat dari sifatnya yang suka menyendiri serta menahan beban mental seorang diri.

Puluhan tahun telah kami lewati dan kondisi kesehatan Fatimah masih sama seperti saat terakhir ia bersama kami bahkan jauh lebih parah meski telah mengkonsumsi berbagai obat-obatan dan rutin datang ke psikiater. Terdengar desas-desus tetangga, jika Fatimah sering berbuat di luar kendali. Merusak tanaman di kebun bapaknya sudah biasa, yang lebih mengerikan, ia pernah berlari mengejar anak tetangga seusianya dg mengacungkan pisau di tangannya. Mungkin ada beban yang bertumpuk dalam pundaknya selaku anak pertama dengan ekonomi yang bisa dibilang menengah ke bawah, tetapi harus berusaha keras membantu ibunya mengasuh adik-adiknya yg masih kecil dan berjarak dekat. Tanpa dukungan dan perhatian orang tua, ia belajar di sekolah seraya menahan tekanan dari teman-temannya.

Begitu berat akibat dari bullying sampai kita benar-benar tidak mampu untuk mencegahnya kecuali jika ada keajaiban dari Sang Maha Pencipta. Menyesal tidak gunanya, marilah bersama mencegah bullying dalam bentuk apapun. Kita selamatkan mereka sebelum terlambat.

SOLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang