Penyesalan Disisa Napas

21 4 4
                                    

karya: Dea Felina

Gelap pekat membuat dada ini terasa sesak. Aku terpaksa harus keluar rumah untuk mencari tambahan nafkah. Sebentar lagi istri akan melahirkan, tinggal sebulan lagi. Beban hidup terasa menekan jiwa. Bagaimana tidak? Bahkan uang melahirkan baru terkumpul sedikit. Hanya sebulan sisa waktu untuk menutupi biaya persalinan.

Aku menghela napas, membakar rokok lintingan, menghisapnya pelan, dan mengembuskan bersama beban di dada.

"Ya, Allah. Kapan cobaan ini akan berakhir? Kapan keluargaku dapat merasakan hidup berkelimpahan?" tanyaku, seakan Allah penyebab kemiskinan ini.

Rintik hujan makin melengkapi derita. Tidak ada yang mau keluar dalam cuaca seperti ini. Aku hendak pulang untuk beristirahat. Tulang-tulang di tubuh seakan hendak lepas. Namun, kubulatkan tekad untuk mendapatkan uang agar terlihat binar bahagia di mata indah belahan jiwaku, Danastri.

Harapan tinggal harapan. Dingin makin menghujam tubuh. Tulangku seakan ngilu dibuatnya. Jaket tipis pemberian Somad tidak bisa menahan dingin yang seakan hendak menjadikan tubuh ini sebagai rumah mereka. Jika tidak mengingat Danastri dan calon bayi, mungkin aku akan mengambil jalan pintas. Sret dan selesai semua persoalan hidup ini.

"Astagfirullah," sebutku.

Aku memutuskan untuk pulang sebelum makin gila dalam kekacauan pikiran. Rintik telah berubah menjadi gerimis, aku tidak boleh sakit. Siapa yang akan mencari uang.

Kubuka pintu kontrakan dengan perlahan, menutup, lalu menguncinya. Apa juga yang harus dikunci, sama sekali tidak ada harta benda yang sanggup membuat hijau mata perampok, batinku pedih.

Istri tersayang–Danastri yang cantik jelita–tertidur pulas. Aku menatapnya penuh cinta lalu membelai dan mencium calon bayi. Satu beban lagi terasa menghimpit dada, sanggupkah menghidupi anak ini? Tak terasa air mata mengalir di pipi. Sungguh lelaki tak berguna, bukannya membahagiakan Danastri–aku malah memberinya kesengsaraan hidup–di atas nama cinta.

Sebuah tangan kasar mengelus pipi. Kubuka mata, bias sinar mentari terasa menyilaukan. Netra mulai beradaptasi lalu terlihatlah wajah cantik Danastri tersayang.

"Maafkan Astri ketiduran, Mas," ucapnya penuh sesal.

Aku mendekap dan melimpahkan kasih sayang, hanya itu yang dapat kuberikan padanya.

"Tidak apa-apa, Sayang. Mas minta maaf, semalam hujan dan tidak dapat penumpang." Aku bahkan tidak mau menatap matanya, tidak sanggup melihat kekecewaan di sana.

"Mas kehujanan? Harusnya tidak usah berangkat semalam. Uang hasil setrikaan masih ada. Maafkan Astri, tidak bisa mengambil cucian lagi," ucapnya tertunduk sedih.

Rasanya ingin merajam tubuh sendiri. Kepala keluarga model apa? Istri sudah hampir melahirkan, tapi masih harus bekerja. Aku memukul dada dan menjambak rambut. Istriku tersayang langsung berteriak dan memeluk erat.

"Jangan seperti ini, Mas. Astri bahagia, apalagi sebentar lagi anak kita akan lahir. Jangan pernah putus asa. Allah masih ada," isaknya.

"Allah? Mana Allah? Jika Ia ada, tentu tidak akan menderita seperti ini," tukasku kasar.

"Astagfirullah, Mas. Nyebut, Mas. Nyebut." Kulihat air mata di wajahnya yang makin hari makin tirus.

"Astri lebih baik menikah dengan orang lain. Mas rela melepaskan untuk kebahagiaanmu." Entah setan mana yang membisikkan kata-kata itu.

Astri menatapku dengan terluka. Ia berdiri dan berlalu. Masih terdengar perkataannya di tengah isakan, "Mas menilai cintaku serendah itu?"

Kuusap kasar wajahku dan membiarkan sesak di dada keluar melalui air mata. Hancur sudah semua. Rasanya ingin mati.

"Maafkan Mas, Sayang," gumamku lirih, tak berdaya.

Aku ke pangkalan. Alhamdullilah, hari ini cukup ramai. Tiba-tiba, kulihat seorang pria gagah, berjalan penuh percaya diri, bajunya bagus dan licin. Sebuah pikiran jahat mulai merasuki jiwa. Aku mengikuti dengan motor dalam jarak aman. Baguslah, ia menjalankan mobil dengan perlahan. Mangsa empuk, batinku.

Di tempat sepi, aku menghadangnya. Berbekal sebuah clurit–yang memang selalu ada untuk berjaga-jaga– aku mulai mengetuk kaca mobil dengan keras. Ia tampak ketakutan. Kutunjuk laptop, ponsel, dan dompetnya. Lalu membuat gerakan mengiris leher. Ia tampak ketakutan dan memberikan semua. Aku tersenyum lebar di balik penutup muka berwarna hitam, lalu dengan cepat pergi menjauh.

Aku tidak takut jika ia akan melacak nomor kendaraan. Suasana saat itu remang-remang, membuat pandangan terhalang. Aku pulang dengan wajah penuh senyuman. Laptop dan ponsel langsung digadaikan. Hasilnya luar biasa. Dompet itu ternyata juga berisikan banyak uang. Panen besar.

Hampir setahun aksi haram dijalankan. Anakku juga sudah hampir setahun usianya. Kehidupan kami mulai membaik, semua berkat hasil merampok.

Suatu hari, aku tergiur untuk ke dukun. Somad yang mengajak. Katanya, ini jalan paling cepat untuk jadi kaya raya. Kami pun melakukan ritual yang diminta. Bahkan harus beberapa kali merelakan Danastri untuk menjadi teman tidur setan yang disembah. Ia mengubah diri, persis sepertiku.

Aku ingin berhenti. Tidak rela melihat kekasih jiwa didekati setan. Namun, tidak bisa. Perjanjian darah itu telah mengikat sampai aku mati.

Kekayaanku melimpah. Apa yang tidak bisa dibeli sekarang? Mobil, rumah, villa? Semua harta dunia bisa didapatkan dengan mudah. Aku hanya perlu menolong seorang pemulung atau pengemis untuk melepaskan mereka dari penderitaan hidup. Ya, aku menumbalkan beberapa dari mereka.

Istriku tercinta dimanjakan oleh kemewahan. Tangan yang dulu kasar sekarang menjadi sangat halus. Wajahnya makin cantik karena perawatan rutin dengan bahan berdasar emas. Danastri sekarang telah menjadi seorang sosialita, ia sering tampil memesona dengan berlian dan barang branded. Aku berhasil membahagiakannya. Kehidupan duniawi sudah dimiliki dengan sempurna. Siapa yang akan menjadi lawanku?

Dini hari–saat Danastri tercinta sedang tidur pulas–aku merasakan dada sesak, seperti teriris pisau. Sakit sekali. Aku menjerit minta pertolongan. Namun, Danastri tidur seperti batu.

Perlahan, tampak di depan mata, api berkobar. Dari tengah api, terlihat setan yang kusembah tersenyum lebar. Ia dikelilingi berbagai makhluk; ada yang bermata besar, berlidah dua, dengan air liur menetes menjijikan. Terlihat lagi, sesosok tubuh seperti hellboy di film. Ia menatapku sambil meringis. Banyak lagi sosok aneh yang tidak lazim.

Perlahan, rasa sakit makin mendera. Napasku seakan ditarik keluar paksa. Terlihat setan itu, mengubah diri sepertiku. Tidur di samping Danastri sambil mengecupnya. Mataku menatapnya tanpa takut, amarah ini terasa membara. Kucoba mendekati untuk menghajarnya. Namun, tulangku seakan ditarik keluar. Terlihat, setan itu melahap perlahan buah hatiku dengan nikmat. Kudengar tangisan kesakitan yang amat sangat. Danastri tetap pulas seperti batu saat buah hati kami meregang nyawa.

Setan dan pengawalnya tertawa menjijikkan. Mata ini terpejam paksa, tidak tahan melihat keadaan anakku. Terasa saatku telah tiba dan ke mana jiwa tersesat ini akan dibawa. Setitik pikiran terang melintas. Di sisa napas, memohon ampun atas semua dosa yang telah kuperbuat. Di sisa napas, meminta Allah untuk menyelamatkan Danastri tercinta. Di sisa napas, kurasakan kesakitan pada seluruh tubuh ....

Tangerang Selatan, 20 Mei 2021

BIONARASI

Dea Felina sangat mencintai dunia literasi dan crafting. Saat ini, penulis telah menulis beberapa buku antologi dari berbagai genre penulisan.

Penulis dapat dihubungi di: Instagram: dee.arnetta_story, FB: dee arnetta, KBM: dee arnetta

SOLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang