Lorong
Karya : Akia Rolf
Aku mendaratkan standar motor di atas garis putih yang tampak berdebu dan kumuh, lalu melangkah melewati koridor-koridor dengan minim penerangan. Tedengar sesekali suara gesekan sepatu dan sapu di ujung koridor. Aku mengacuhkannya, hanya mengira mungkin saja beberapa cleaning service tengah bertugas.
Kudorong pintu kaca dengan sekuat tenaga, tapi tidak mau dibuka. Barangkali pihak security belum mengijinkan untuk dilalui, lagi pula jam di tanganku masih menujukkan pukul sembilan pagi. Aku bergegas menapaki para anak tangga darurat, melewati setiap pijakan dengan terengah-engah. Sesekali aku berhenti pada tiap sela tangga melingkar yang menunjukkan posisi lantai gedung yang sedang kutapaki.
Aku menoleh pada sebuah papan berwarna kuning dengan huruf yang diisi warna putih.
"Lantai Ground?" Aku bergumam sendiri seraya menggelengkan kepala. Sudah beberapa menit berlalu dan aku hanya melewati satu area lantai, hanya melewati area Lower Ground Floor saja dari titik awal Basement. Oh lambat sekali langkahku. Aku sedikit berjongkok sambil menggeleng lalu mengintip ke atas melalui celah-celah lengkungan tangga. Mataku menelisik tiap jeda lantai yang ada. Oh, tampak tak berujung jua, masih tinggi dan jauh.
Kuputuskan untuk mulai lagi menapaki anak tangga berlantai semen itu, melewati tiap pijakan sambil memegang pegangan tangga dari besi yang diwaranai kuning. Saat masih on fire menginjak tiap lantai yang makin tinggi, tiba-tiba aku dikejutkan dengan siluet besar memantul di dinding. Ternyata ada seorang pria paruh baya dengan pakaian biru tua sedang menyapu, memunggungiku. Kutebak pasti bagian cleaning service gedung.
"Hari ini masuk, Mbak?" tanyanya sambil menoleh dan berhenti melakukan aktivitas mengepel lantai parkiran.
Ah aku mengganggunya, pikirku.
"Iya, Pak. Piket." Singkatku yang bergerak maju sambil berpegang pada pinggiran tangga lagi.
"Parkiran serasa lengang, ya Mbak. Biasanya ramai dan sesak dengan roda-roda empat. Berjajar dari ujung ke ujung. Berlarian tiap lantai demi mencari tempat kosong. Sampai-sampai terkadang pihak manajemen gedung mengalah memberikan jatah area parkirannya." Ia berkata sambil berkacak pinggang. Satu tangannya terlihat menyentuh dahi, menelisik sudu-sudut hampa di bawah minimnya cahaya.
"Iya, Pak." Aku berkata seminimal mungkin sambil menahan sesak di dada akibat masker double yang menutupi separuh wajah. Napasku masih sedikit tersengal dengan rasa panas yang menjalar di wajah serta kerongkongan.
"Kau dengar, Mbak? Suara-suara peluit yang melengking, menarik maju atau mendorong mundur tiap pemilik roda-roda yang menggerakkan ekonomi di gedung ini?"
Aku bergeming, menatapnya penuh merinding. Kuakui bahwa suara riuh peluit itu tak kalah dari suara musik yang berpendar di dalam gedung. Aku sedikit mengangguk di dalam hati.
"Dan ini lah sekarang. Bahkan suara burung-burung yang sering bertengger di pinggiran tralis parkiran jauh lebih bising dari suara peluit dan klakson mobil."
Aku melihat ada genangan air mata yang hampir tumpah. Selaras dengan selipan kertas di saku depannya yang kalau tidak salah tulisannya slip gaji.
Ia bergeming sebentar sebelum melanjutkan kalimatnya sambil menahan senggukan yang mau meluap di ujung kerongkongannya.
"Wah, Mbak. Maaf ya, saya kok jadi curhat sama Mbaknya."
Ia membalikkan tubuh, memunggungiku seraya menghapus sesuatu yang kupikir itu debu, atau beberapa sendu.
"Tidak apa, Pak. Maaf saya menyela, izin lanjut untuk naik ke lantai tiga ya. Sudah ditunggu rekan-rekan," ujarku dengan melanjutkan menapaki anak tangga, membiarkan si cleaning service termangu.
Sayup-sayup kudengar suara gesekan di lantai tadi, mungkin si pria cleaning service sedang melanjutkan pekerjaannya. Ya, harus kuakui, gedung mall sebesar ini harus bisa dibersihkan oleh beberapa cleaning service saja, mengingat pemangkasan biaya yang tersisa tanpa ada pemasukkan.
Pembatasan aktivitas sudah masuk ke level sekian yang aku pun tidak peduli. Aku lebih peduli pada bagaimana perusahaan tempatku bernaung masih bisa untuk menghasilkan revenue meski tidak sebesar biasanya. Ada rasa sesak yang menggerogoti benakku, pun dengan tenagaku yang terkuras lebih banyak dari biasanya.
Kami yang bertahan atau bisa dibilang terpaksa bertahan ini, dialihtugaskan bekerja tidak sesuai bidangnya. Kami terpaksa merangkap pekerjaan lain. Seperti bagian frontline restoran yang harus membersihkan toilet juga karena cleaning service bagian khusus terpaksa diberhentikan sementara. Lalu pegawai back office sepertiku terpaksa menjadi marketing yang berpencar ke segala customer loyal kami. Sebenarnya tidak hanya marketing saja yang harus kulalui sebagai pengalaman baru di perusahaan ini, tapi sekaligus menjadi penjaga gudang-gudang di store. Minimnya sumber daya manusia harus dipergunakan seoptimal mungkin.
Ceracauku mengakhiri langkah dalam menapaki anak tangga. Dengan napas masih tersengal, aku sedikit menggerakkan pintu masuk darurat yang tidak pernah dikunci. Ya, meski berat saat di dorong, nyatanya aku berhasil memasuki lorong-lorong sepi dengan minim pencahayaannya.
Kunyalakan senter dari ponsel dengan pencahayaan seadaanya, melewati tiap ubin yang tampak bedebu dengan beberapa jejak kaki di sana.
"Lah, tadi kan ada cleaning service gedung utama, kenapa tidak sekalian membersihkan koridor ini sih, duh," gumamku sembari menelisik tiap jejak kaki.
Ambang pintu masuk store tempatku bekerja mulai tampak. Dengan sedikit mempercepat langkah, aku segera menggapai pintu kaca dengan gagang pintunya dari aluminium. Aku mendorongnya dengan pelan, takut jika membunyikan sensor sirine pencurian.
Dengan detak jantung yang masih tak beraturan ditambah menahan tenaga berlebih dalam mendorong pintu masuk, akhirnya aku berhasil masuk area bioskop yang tentu saja minim pencahayaan. Lagi-lagi aku merogoh ponsel dan menyalakan senter sekenanya, menyinari lorong-lorong sepi lagi, seorang diri.
Ruang panel listrik letaknya tak jauh dari pintu masuk meski di depannya gelap, benar-benar gelap, untungnya aku berhasil menemukannya pintunya. Jemariku menari di antara panel-panel warna-warni dengan tulisan menghiasi.
"Ruang Back Office nomor dua. Kata Ema panelnya warna oranye dengan tulisan panel warna merah. Hmm, sebelah mana ya," gumamku sembari menggaruk dagu yang tak gatal. Masker lapis terluar terpaksa kulepas sejak masuk, karena pasti sudah kotor saat aku melalui perjalanan ke sini. Lalu kuganti dengan lapis tipis untuk di luar, hanya berjaga-jaga jika ada Satgas Covid yang tiba-tiba inspeksi.
"Ini!"
Tiba-tiba terdengar suara berat merambat di kedua lubang telinga. Asal suara dari arah belakang. Ia bersuara tepat di dekat tengkukku yang dilapisi jaket dengan penutup kepala yang sedang kuturunkan. Aku bergeming. Lalu beberapa detik kemudian ia menepuk pundakku dengan kencang.
Aku hampir saja berteriak tapi lebih memilih menggigit lidah saat menoleh ke arahnya. Dengan gerak pelan, aku mengarahkan sinar senter ke arah wajahnya.
"Emaaaa! Ah, bikin kaget sukanya! Jantungan nih!" Aku berteriak lalu berjongkok dengan posisi lemas. Aku terengah-engah dengan sinar senter menghadap ke bawah.
"Hahaha, jangan kaget atuh, Mbak," ujarnya seraya menaikkan beberapa tuas panel listrik.
Perlahan lampu mulai menyala, layaknya berjalan menuju ruangan yang di sapa dengan cahaya.
"Kayaknya store kita piket sendiri kali ini. Soalnya store lain pada tutup." Ema berkata sambil sibuk merogoh kunci gudang yang diletakkan di selipan undercounter rak mesin.
"Iya, tapi ada beberapa orang kok di dalam gedung. Tadi ada bagian cleaning service juga. Kayaknya banyak yang dipangkas, ya. Soalnya aku cuma lihat seorang cleaning service di Basement dan seorang lagi di Lower Ground Floor. Ck, pantas koridor mall lebih berdebu dari biasanya." Aku berkata sembari membuka ruangan yang sudah tertata rapi lalu melepas jaket.
"Mbak, kamu lupa baca info di grup? Hari ini para cleaning service nggak ada yang masuk karena mereka lagi layat ke salah satu mantan pegawai yang meninggal beberapa hari lalu."
Aku bergeming, benar-benar bergeming bahkan oksigen di paru-paruku berhenti turun, bahkan jantungku berhenti berpacu.
***