Titip Ummi, Ya, Kak.

15 2 1
                                    


Titip Ummi Ya ..., Kak

Karya: Window Wijaya


Sesungguhnya aku malu. Sebagai lelaki dewasa, tak mampu membendung air mata. Tak hanya itu, bahkan gemuruh dalam dada pun tak mampu kuredam hingga hangatnya menampakkan semburat merah muda di wajahku.

Ummi, berulangkali mengusap bulir netra yang menganak sungai di puncak pipi. Sejak kemarin tak banyak kata terucap dari bibirnya. Lebih banyak diam, terkadang pandangannya tampak kosong menatap jauh ke depan.

Hari ini, putri kecilnya melangsungkan pernikahan diusia yang baru menginjak dua puluh dua tahun. Aku tahu, sejuta rasa tengah mengaduk-aduk pikiran juga perasaannya. Kekhawatiran akan kehilangan adalah hal yang paling ia takutkan. Kerap tanpa sadar ia berujar " Ummi takut, sangat takut. Menghabiskan hari tua dalam kesendirian, tanpa anak-anak."

***

Wanita paruh baya, itu biasa dipanggil dengan sebutan Ummi. Beliaulah induk semang semasa aku bekerja di kota ini. Kala itu, melihat kasih sayang yang tulus kepada semua anak asuhnya, membuat hati ini terpaut. Kami kerap mengobrol berdua, berbicara dari hati ke hati. Tak perduli tatapan curiga bahkan anggapan-anggapan miring tentang hubungan kami. Kedekatan kami benar-benar membuat penghuni kos-an merasa cemburu. Pun dengan putri ummi satu-satunya ..., Ardilla.

Seringkali aku mendengar keributan diantara mereka dan aku melihat ummi menangis, setelahnya. Entah mengapa ... melihatnya seperti itu, hati ini terasa sakit. Seakan tak rela, air matanya tertumpah.

Hari ini keributan itu terjadi lagi. Kamarku berhadapan langsung dengan rumah utama, membuat perdebatan diantara mereka terdengar bahkan terlihat dengan sangat jelas.

"Demi Allah, tak ada beda sayang Ummi buat kamu juga kakakmu."

"Kakak ... yang mana, Ummi? Dilla gak punya kakak. Dilla tunggal, Ummi!"

"Dillaaa!"

"Bahkan demi dia, yang entah siapa. Ummi berteriak hanya untuk menerangkan status dia di hati Ummi! Dilla gak rela Ummi!"

"Dilla ... percaya sama Ummi. Tak ada hubungan lain diantara kami selain hubungan ibu dan anak. Kakakmu orang baik, Nak."

"Dua orang dewasa, berlainan jenis, berhubungan dekat. Mengaku hanya sebagai ibu dan anak. Hellooo, dunia pun tahu hubungan macam apa itu!"

Tak ada lagi perdebatan setelahnya.

Dilla berlari dengan cepat keluar rumah, sementara ummi menangis tersedu penuh rasa sesal. Entah dari mana kekuatan itu berasal, ummi yang kukenal lembut mampu melayangkan tangan pada dilla.

***

Satu ... dua hari, tak tampak ummi keluar dari rumahnya. Aku pun tak berani untuk masuk ke dalam rumah seperti biasa. Dilla ..., gadis remaja enam belas tahun itu, terlihat sangat membenciku. Seakan tengah mengibarkan bendera peperangan.

"Dilla, Ummi mana?"

"Gak tau!"

"Dilla, kita ngobrol bentar yook."

"Ogaaah."

"Dilla, sebentar aja."

Sigap, kucengkeram lengannya saat akan berlari menjauh. Sesaat ia meronta, akan tetapi kalah kuat hingga akhirnya ia mengalah.

Kami duduk berdekatan, di teras rumah. Lama kebisuan menyelimuti, waktu pun berpindah dari detik menuju menit. Hening terasa, hingga desah napas terdengar lebih jelas dari yang seharusnya. Aku menarik dalam dan sebanyak mungkin oksigen, sejenak kusimpan dalam paru-paru untuk kemudian diembuskan perlahan.

SOLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang