Pangeran Tidur

68 6 26
                                    

oleh Nafazzah

Senyum tak dapat lagi kutahan begitu novel yang kubaca menampakkan barisan huruf yang menceritakan kisah romantis yang sederhana. Membayangkannya saja sudah membuatku tak henti-hentinya tersenyum. Ah, bahagia sekali jika punya seseorang yang spesial ada di dekat kita.

"Tumbas ...." (Beli.)

Ah ...! Aku menutup novel itu dengan kesal, lalu berdiri. Terlihat tiga anak kecil yang tengah melihat-lihat mainan yang tergantung di rak di depan warung. Dengan perasaan kesal yang masih tersisa, kulangkahkan kaki mendekati mereka.

"Mbak, ini berapaan?" tanya salah satu dari mereka sembari menyentuh benda yang tergeletak di sana.

"Tiga ribu lima ratus." 

Tiga anak yang sebenarnya manis itu, melangkah pergi, mendekati jajaran mainan yang tergantung di dinding. Aku masih mengamati dengan saksama. Berkali-kali mereka berpindah posisi, ke rak depan warung, lalu kembali ke tempat mainan yang digantung di dinding.

Ayolah, bergerak lebih cepat. Kalian sudah membuang waktu sepuluh menitku hanya untuk melihat-lihat tanpa ada niatan untuk membelinya. Kali ini, lagi-lagi salah satu dari mereka berjalan ke arah rak mainan, lalu mengambil plastik yang berisi peniti di sana.

"Ini Mbak."

Lega rasanya, aku mengambil uang bergambar Mohammad Hoesni Thamrin itu dan memberikan kembalian setengah dari nominalnya.

"Iki pironan, tho?" (Ini berapaan, sih?)

"Iya, berapaan sih?"

"Seribuan."

"Nggak pa-pa kalau beli itu? Nek mbokmu nesu piye?" (Kalau ibumu marah gimana?)

Marah? Ya, terserah dia dong mau beli apa enggak, toh ibunya yang marah, bukan ibu kamu. Ingin rasanya aku mengucapkannya, tetapi ya sudahlah, malas rasanya.

"Mbak, nggak jadi."

Mungkin jika aku terbiasa, berbagai isi di kebun binatang bisa saja terucap dari mulutku. Aku mengembalikkan uang yang tadi diberikan anak itu dengan senyum tipis. Setelah tiga bocil yang mengesalkan itu meninggalkan muka bumi ini, em, meninggalkan warung maksudku, tanganku yang sudah gatal ingin mengacak-acak apa pun yang ada di depanku pun akhirnya beraksi.

Kuambil novel di meja, lalu kupukul pelan kepalaku. Ya Tuhan, kalau saja aku tidak ingat warung milik orang tuaku ini menjadi satu-satunya sumber penghasilan kami, mungkin kini sudah menjadi kapal pecah.

"Eh, Mbak, Mbak. Kok dipukul kepalanya? Mending dibawa ke Puskesmas kalau sakit."

Tanganku berhenti di udara begitu suara itu menginterupsi. Kusisihkan novel yang menghalangi pandanganku. Seketika aku terdiam. Ya Tuhan, sekeras apa sih aku memukul kepala? Bagaimana bisa sampai membuatku berhalusinasi seperti ini? Sesosok malaikat bertopeng wajah manusia berdiri di depan etalase dekat meja.

"Mbak?"

Ah, sial. Bisa-bisanya aku melakukan hal konyol di depan manusia itu. Setelah aku yakin dia manusia karena tangannya melambai di depan wajahku, aku cepat-cepat bersuara.

"Eh? Maaf, Mas. Monggo, mau beli apa?"

Dia tersenyum. Dia pangeran dari mana, sih? Ya Tuhan, sepertinya aku harus mengajak Ibu dan Ayah ke rumah sakit di kabupaten untuk memeriksakan otakku yang mulai tidak beres ini.

"Mboten. Nggak, kok, Mbak. Aku cuma mau kasih ini."

Aku tersenyum sembari menerima bingkisan darinya. "Eh, ma-"

SOLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang