Cinta dan Luka

15 3 1
                                    

Cinta dan Luka

Oleh : Ririn Irma

Setelah menikah, aku langsung diboyong untuk tinggal di kampung suami. Sedih bercampur bahagia. Sedih karena berpisah dengan kedua orang tuaku dan bahagia karena sekarang sudah ada yang bertanggung jawab atas diriku.

Awalnya kami menumpang di rumah orang tua Mas Abdi. Setahun kemudian, suamiku mendapat rezeki dan bisa membangun rumah sederhana di atas sepetak tanah. Meskipun kecil, aku sangat bersyukur karena sudah bisa hidup mandiri. Ibarat kata hanya makan dengan garam, tidak masalah. Kami benar-benar mensyukurinya. Dengan hasil kerja keras bisa mewujudkan impian keluarga kecil, bukan dari pembagian warisan. Ya, sejak menikah, suamiku memang tak pernah berharap jatah pembagian harta warisan orang tuanya. Dia lebih puas dengan jerih payahnya sendiri.

Beberapa bulan tinggal di rumah sendiri, Allah kembali memberikan kami kebahagiaan. Setelah telat sebulan, aku dinyatakan positif hamil.

"Alhamdulillah ya Allah, Engkau telah melengkapi kebahagiaan keluarga kecilku," ucap Mas Abdi sembari mengelus dan berkali-kali menciumi perutku. Kebahagiaan benar-benar terpancar dari wajahnya.

***

Sembilan bulan lima belas hari, aku sama sekali belum ada tanda-tanda melahirkan. Sesuai perkiraan dokter dan bidan, usia kandunganku sudah melewati HPL. Hatiku gundah, berharap tidak terjadi apa-apa dengan bayiku.

"Kamu, sih, jadi orang pemalas. Kalau udah hamil tua itu rajin jalan-jalan, ngepel jongkok biar merangsang bayi masuk ke jalan lahir. Coba masih tinggal sama Ibu, pasti nggak akan seperti ini. Kamu sengaja cepet-cepet pindah ke rumah sendiri karena ingin malas-malasan, 'kan?" cerocos ibu mertua tanpa memedulikan perasaanku. Saat itu kebetulan beliau sedang berkunjung ke rumah.

Aku hanya terdiam sambil sesekali menelan saliva. Dalam keadaan seperti itu bukan omelan yang diharapkan, melainkan support serta motivasi. Mendengar kata-kata Ibu mertua, Mas Abdi selalu menenangkan hatiku sambil mengelus perutku.

"Nggak usah dimasukkan hati omongan Ibu. Beliau memang seperti itu." Mas Abdi selalu membesarkan hatiku.

Lalu kami memutuskan untuk kontrol ke dokter sekali lagi. Setelah melakukan USG, ternyata ketuban sudah berkurang. Jika dibiarkan terlalu lama akan berakibat buruk bagi sang bayi. Kemudian, dokter memutuskan untuk melakukan SC untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Tanpa pikir panjang, Mas Abdi pun menyetujui. Kemudian, dokter membuatkan surat rujukan.

Mengetahui keputusan dokter, lagi-lagi Ibu mertua mengomeliku. "Kamu itu kayak artis saja. Maunya dioperasi. Tunggu aja dulu, itu anak memang belum waktunya lahir. Ibu aja dulu hamil Adik iparmu itu sepuluh bulan lewat beberapa hari. Normal juga, kok."

"Iya, Bu. Aku juga sebenarnya nggak ingin operasi. Perempuan mana yang mau perutnya dibelek-belek, Bu. Kata dokter ketubannya sudah berkurang, kalau lama-lama bisa bahaya bayinya," terangku pada Ibu, berharap beliau bisa mengerti.

Mendengar penjelasanku, Ibu bukan menyemangati, beliau semakin menyerocos sambil mencebikkan bibir. Hatiku kembali teriris, tetapi berusaha tenang. Apa pun akan kulakukan demi buah hati.

Setelah menyiapkan perlengkapan bayi, Mas Abdi membawaku ke rumah sakit. Namun, Ibu justru meninggalkan kami. Beliau tidak ikut mengantar.

"Ya Allah, seandainya dekat dengan orang tuaku, pasti ibuku sudah menemani di samping," gumamku lirih, menahan air mata yang telah menggenang.

"Kamu nggak usah pikiran. Jangan masukkan omongan Ibu ke hati. Sekarang fokus lahiran aja. Semoga semua berjalan lancar, sehat istri dan anakku," ujar Mas Abdi sembari membelai rambutku.

SOLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang