KEMBALINYA SANG SUPERSTAR
Prayogi Thia Nugraha
Raut wajahku memperlihatkan seberkas kekecewaan. Kuperhatikan daftar nilai yang ada di atas meja. Pandanganku tertuju pada deretan nilai ulangan Ali yang tertera di buku nilai. Aku mengehela napas panjang. Aku tidak pernah menyangka murid yang sangat kubanggakan satu bulan belakangan ini telah berubah. Ali yang periang kini berubah menjadi pendiam. Celotehnya hilang bersamaan dengan menurunnya nilai ulangan Ali. Nilai kesehariannya telah menurun drastis. Sinar kebintangan Ali telah redup berubah menjadi mega hitam yang mencekam. Nilai yang didapat seakan sulit untuk melebihi angka 6.
Ali adalah salah satu muridku yang sangat dibanggakan, nilainya selalu diatas angka 8. Terutama pada mata pelajaran Matematika, bukan Ali namanya kalau tidak bisa memecahkan soal hitungan yang aku diberikan. Dalam waktu yang singkat dia mampu menyelesaikan soal tersebut. Bahkan ketika ada lomba bidang studi Matematika tingkat Kecamatan, dengan sempurna Ali mendapat predikat juara. Namun ditingkat Kabupaten dia harus puas dengan raihan juara ke-2. Dia kalah dari siswa yang berasal dari kota.
Dalam bergaul Ali bisa dibilang sangat santun, maka tidak heran kalau teman-teman dan gurunya sangat menyayanginya. Ketika ada temannya yang kesulitan pada mata pelajaran, tanpa rasa sungkan Ali ikut membimbingnya, baginya dengan membimbing temannya dia akan lebih memahami materi pelajaran yang didapatkan. Ali bagaikan superstar bagi teman-teman dan gurunya. Dia selalu menjadi buah pembicaraan para guru disekolahnya. Bahkan mereka optimis pada ujian yang tinggal 2 bulan lagi, Ali akan mendapatkan nilai terbaiknya yang akan menjadi kebanggaan sekolah.
Tapi rupanya sang superstar tersebut sekarang sedang redup, sinar kecemerlangannya seakan hilang bersama layu wajahnya yang riang. Nilai ulangannya kurang memuaskan, di kelas dia tidak aktif seperti dulu dalam menanggapi dan bertanya tentang materi pelajaran yang diterima. Tidak ada tegur sapa ataupun senyum simpul yang menghias wajahnya, kekakuannya tampak terlihat dari kesehariannya yang terus mengurung diri dari keramaian. Bahkan ketika temannya minta untuk diajari materi pelajaran yang sulit, dia selalu berkata "Maaf aku tidak bisa," jawabnya lemah tanpa warna. Sungguh jawaban ironis sikap Ali bagi teman-temannya, biasanya walupun dia tidak bisa mengerjakan soal tersebut, tidak pernah dia menjawab kata tidak. Bahkan bersama senyumnya yang khas, dia selalu menjawab "Mari kita kerjakan bersama-sama!". Sikap perubahan Ali yang 180 derajat itu telah mengundang tanda tanya besar bagi teman dan gurunya. Mereka merasakan sesuatu yang hilang, yaitu redupnya sinar sang superstar.
Lalu dengan rasa penasarannya, Aku segera keluar dari kantor. Aku ingin mencari jawaban dari rasa penasaran itu. Aku tahu ada dimana sang Superstar itu sekarang. Maka tanpa membuang waktu lagi, Aku segera menuju ke kebun sekolah yang berada dibelakang sekolah. Biasanya pada jam istirahat Ali akhir-akhir ini sering menyendiri di kebun sekolah.
Ternyata dugaanku tidak meleset. Sang Superstar sekolah saat ini sedang duduk menyendiri di bawah pohon besar yang rindang. Kepalanya tertunduk pada dua lututnya yang ia tekuk. Tangannya terlihat melingkar keras pada dua lututnya menandakan bahwa dia sedang mencoba menahan persaannya yang sedang terluka. Mungkin saja saat ini dia sedang menangis. Melihat sikap muridnya yang aneh, Aku segera mendekati Ali dan duduk disampingnya tanpa sepengatahuan Ali.
"Kamu tidak bermain bersama teman-temanmu, Li?" Ali tersentak kaget, dia segera menoleh padaku.Aku tersenyum dan duduk disampingnya. Namun aku kaget ketika melihat mata Ali telah basah. Aku tahu bahwa Ali sedang menangis.
"Hei, kamu menangis?" tanyaku lembut. Ali segera mengusap air matanya, dia menggelengkan kepala lalu menunduk.
"Ali, kamu jangan bohong sama Bapak. Bapak tahu kamu sedang menangis?" Ali masih menunduk.
KAMU SEDANG MEMBACA
SOL
Historia CortaKumpulan cerpen antologi Keluarga Cerama bertema Slice of Life