BAGAS SUMBER REJEKI
Karya: Dwi Hastuti
Menikmati masa-masa transisi adalah suatu hal yang syesuatuh. Masa yang bagaimana kah itu? masa dimana hidup segan mati tak mau, menganggur tidak punya bisnis yang menghasilkan pun belum. Bagaimana tidak? Seorang pengusaha yang pengalaman bisnisnya sudah belasan tahun, dengan omset puluhan juta rupiah, tetiba di goncang badai hebat hingga usahanya bangkrut tak menyisakan apa-apa.
Teringat saat memikirkan ide bisnis dulu, anak istimewaku yang menjadikan inspirasi nama perusahaanku. Usaha mebel, toko alat-alat listrik, agen LPG, pesanan HP dan elektronik, bengkel mobil dan grease serta rental mobil.
"Mas, sebagai apresiasi terhadap anak istimewa kita, bagaimana kalau usaha kita diberi nama Bagas Sumber Rejeki?" pintaku kepada suamiku.
Suamiku hanya melirik dan tersenyum sambil asyik memainkan game di ponselnya. Setelah sekian kali jatuh bangun, ternyata Allah sangat menyayangiku dengan terus mengirimkan ujian silih berganti. Namun aku yakin Allah sudah menyiapkan jalan keluar yan indah untukku.
Anak pertamaku Werdi Bagas Hernowo yang mengalami difabel kompleks, yang menyebabkan fungsi motorik, komunikasi dan intelegensinya terganggu. Oleh dokter pernah divonis otak kecil dan otak belakangnya bermasalah.
Berbagai cara telah kami upayakan namun belum membuahkan hasil seperti yang kami inginkan. Hingga sebelas tahun kemudian lahirlah adiknya Wajar Dwi Pramono yang melengkapi segala kekurangan kakaknya.
Tak ada seorang anak manapun yang menginginkan terlahir berbeda, demikian pula tak ada orang tua manapun yang menghendaki anaknya terlahir kurang sempurna. Melahirkan kakak dengan cucuran keringat, darah dan air mata, membesarkannya dengan segenap jiwa raga, emosi dan tekanan batin.
Awalnya memang sering berkeluh kesah penuh sumpah serapah, bahkan sering menghujat dan menyalahkan. Namun ketika sembilan tahun berjalan dan tidak membuahkan apa-apa, hanya keikhlasan dan kerendahan hati yang mampu menghantarkan kami pada tingkat ketentraman jiwa yang tidak bisa dinilai dengan apapun.
Setiap melihat Kakak yang menjalani hari-harinya dengan begitu berat, mobilitasnya hanya dengan merambat pada benda apapun yang bisa dipegang. Jika tidak mendapatkan pegangan dia rela bergerak hanya dengan merangkak.
Komunikasinya yang tidak sempurna membuat orang-orang sekitar kurang bisa memahami apa yang dia inginkan. Tak heran jika kakak sering mengalami kejang dan tantrum saat apa yang diinginkan tidak dapat dipahami oleh anggota keluarga yang lain.
Emosinya yang labil dan kadang meluap-luap membuatku terkadang sulit untuk mengendalikannya, apalagi sekarang umurnya sudah 23 tahun, postur tubuhnya yang besar membuatku kesulitan untuk menahan geraknya atau saat tantrumnya kambuh.
Kecerdasannya yang sangat di bawah rata-rata, membuatku tak berdaya untuk mengarahkan kemana bakat dan minatnya. Fisiknya yang tak mendukung, membuatku stuck dan pasrah akan kondisinya.
Mengantar ke sekolah dan menungguinya sampai usai pelajaran sekolah selama lima jam dan sepanjang sepuluh kilo meterpun rela kulakukan. Hanya demi memenuhi kewajibanku sebagai orang tua sebagaimana kewajiban para orang tua pada umumnya meskipun berbeda kapasitasnya. Sekolah bagi Kakak hanya sebatas untuk bersosialisasi saja, pada dasarnya kakak memang tidak bisa seperti anak-anak pada umumnya.
"Tak perlu menyalahkan siapa-siapa! bukan aku, kamu atau dia bahkan jangan sekali-kali menyalahkan Tuhan," bisik hatiku menguatkan.
"Kita adalah orang-orang pilihan, Allah telah mengukur kemampuan kita. Oleh takaran-Nya kita diyakini mampu dan kuat, sebab semua ujian yang diberikan kepada hamba-Nya pasti tidak melampaui batas kemampuan kita, maka bersabarlah," hibur suamiku menenangkan.