Bukan Mereka
Shafira Isma Amalia
Hari Idulfitri adalah momen yang paling ditunggu oleh umat Islam. Setelah berpuasa Ramadan selama satu bulan lamanya, kami –para umat Islam– 'merayakan pesta kemenangan' di hari Idulfitri. Ketupat, rendang, dan sayur berkuah santan menjadi hidangan yang biasanya di masak saat Idulfitri. Beberapa hari sebelumnya, pedagang-pedagang mulai menjajakan dagangannya, seperti stoples, kulit ketupat, daging sapi sudah berjajar di sepanjang jalan. Bahkan penjual baju gamis dan kopiah juga tak kalah banyaknya. Para ibu dan anak-anaknya berlomba memadati Pasar Tanah Abang atau pasar tradisional lainnya untuk membeli baju baru, yang akan di pakai saat lebaran nanti.
Lalu, THR (Tunjangan Hari Raya) dan parsel (bingkisan) juga menjadi ciri khas lebaran Idulfitri. THR berupa beberapa lembar uang, yang dimasukkan ke dalam amplop-amplop kecil, nantinya akan diberikan ke anak-anak kecil yang berkunjung ke rumah-rumah. 'Angpao' ini sifatnya tidak wajib, dan bukan sunnah. Itu hanya tradisi masyarakat kita ketika merayakan hari raya Idulfitri. Terkadang, beberapa rumah, dipajang berbagai macam makanan di atas meja. Entah kue basah, seperti risoles, bolu, juga kue kering macam nastar, kastengel, dan putri salju. Bahkan, di rumahku pernah menyiapkan satu panci bakso untuk para tetangga yang berkunjung. Makanya, jika orang-orang berkunjung ke rumahku, mereka bisa dua sampai tiga jam duduk sambil bercakap-cakap.
Karena dua tahun belakangan terjadi Covid-19, maka di tahun ini, Mama mengurangi masak-masak yang terlalu banyak. Keluarga kami hanya menyiapkan se-stoples kue nastar, putri salju, dan sepanci Laksa untuk sarapan keluarga. Setelah salat Ied, tetangga datang bergantian, bersalam-salaman dengan jarak yang jauh agar tidak bersentuhan, dan mencicipi kue yang kami sajikan. Aku kira, dengan mengurangi masak-masak, hanya sedikit tamu yang datang berkunjung, ternyata dari pagi sampai siang, hadeuh ... tidak ada hentinya. Satu pergi, yang lainnya datang kembali, begitu seterusnya. Bahkan ada yang duduk-duduk sambil bercerita mengenai anaknya yang mau menikah, ataupun sudah lulus kuliah dan mendapat pekerjaan. Pada akhirnya ... aku yang menjadi sasaran selanjutnya, "Kapan nikah, Mba?"; "Udah lulus kuliahnya?"; "Sudah semester berapa?"; dan ribuan pertanyaan lain yang menghujamku, untuk menjadi bahan pembanding antara aku dengan anaknya.
Hari ini adalah hari ke dua suasana lebaran. Rumahku sudah sedikit longgar dari tamu-tamu yang datang. Namun, pagi ini, ada seseorang yang datang berkunjung. Aku mengetahui itu, karena, aku mendengar suara perempuan mengucap salam dari arah luar.
"Assalamu'alaikum ...." Suara seseorang terdengar sampai ke dalam rumah.
Aku pergi mengambil hijab, memakainya, lalu melangkah ke luar. Siapakah yang datang sepagi ini? Kulihat, dua pasang suami-istri serta anak-anak mereka sudah berdiri di depan gerbang rumah. Empat orang perempuan dan tiga orang laki-laki menunggu dibukakan pintu pagar untuk memasuki rumah.
"Wa'alaikumussalam ...," ucapku ketika sampai di depan gerbang.
Ternyata kedua keluarga itu adalah saudara Mamaku, dari Bekasi. Mereka menggunakan mobil sebagai kendaraan menuju rumahku. Kubuka pintu pagar lebar-lebar. Kemudian menyalami semuanya, satu per satu, seraya mengucapkan, "Mohon maaf lahir batin."
Kami semua masuk ke rumah. Aku menyuruh mereka duduk di tempat yang disediakan, sambil menunggu Mama dan Papa yang sedang bersiap-siap.
"Tante, Om, Pakde, Bude, tunggu dulu, ya. Fira panggil Mama dulu," ucapku sebelum pamit meninggalkan mereka.
"Gak apa-apa, Fir. Gak usah repot-repot," kata Tante Mirna.
Aku masuk ke rumah, memanggil Mama dan Papa agar segera menuju depan, untuk menjamu keluarga yang datang. Selanjutnya, aku meneruskan perjuangan Mama yang sedang memasak di dapur.