Kain Jarit untuk Ibu

9 2 2
                                    


*Kain Jarit untuk Ibu*

Rindu ini sepertinya sudah tak bisa lagi menunggu. Pemilik senyum paling lembut itu lebih sering datang, menyapa malam-malam yang sepi setiap kali ingatan mengembalikan putaran waktu pada masa-masa ketika hadirnya selalu ada. Tidak hanya datang dalam mimpi saja, bahkan saat mataku terbuka pun hadirnya kini jelas terlihat di depan kelopak mata.

Senyumnya mengambang di antara pintu kamar tidur. Kemudian menghilang dibalik gorden tanpa jejak. Saat kusibak tirai itu, hanya terlihat kamar kosong dengan kasur yang lama tak terjamah. Aku menghirup aroma kamar dalam-dalam. Aroma itu masih tersisa, menusuk hidungku. Aroma wangi tubuh yang pernah setiap saat aku peluk. Seolah benar adanya di sini.

Di dekat jendela kamar, masih tertancap jarum jahit yang sudah berkarat. Jarum itu mengingatkanku pada kaos kakiku saat aku masih duduk di sekolah dasar. Dulu, aku hanya mempunyai tiga pasang kaos kaki. Dua pasang berwarna putih dan sisanya hitam. Karena tidak bisa menggantinya setiap hari, aku memakainya dua hari sekali.

Pada hari Jumat dan Sabtu, saat aku harus mengenakan kaos kaki berwarna hitam, mungkin karena sudah tua, ada lubang pada bagian ibu jari. Dengan wajah cemberut aku protes kepada Ibu. Namun kondisi keuangan kami terbilang sederhana. Bisa makan nasi dengan lauk seadanya saja sudah membuat kami sangat bersyukur. Maklumlah, orang tuaku petani. Mereka lebih mementingkan beras tetap ada di lumbung padi dibandingkan barang lain. Aku tidak bisa meminta barang-barang semudah dan secepat anak lain. Memastikan perut anak-anaknya kenyang adalah prioritas utama mereka.

Meski seringkali aku malas sarapan hanya dengan tempe goreng dan sayur, Ibu tak pernah bosan membujukku menghabiskan makanan yang sudah ia siapkan. Bahkan terkadang ia menyuapiku agar aku tak telat masuk sekolah.

Sebelum berangkat sekolah, aku harus menunggu Ibu menjahit bagian kaos kakiku yang berlubang. Dan aku tetap saja menanggapinya dengan keluhan.

"Kenapa enggak beli yang baru saja sih, Bu? Lagian itu juga kaos kaki sudah lama, lihat saja karetnya sudah mulai kendur begitu." Aku masih melipat wajahku tanda tak suka.

"Iya, tapi tidak sekarang ya, Ndhuk. Kan kita belum panen. Nanti kalau panen tiba dan padi kita laku, kita beli yang baru ya? Lihat, ini juga masih bisa dibenerin kan. Nih, sudah. Sekarang kamu pakai dan siap-siap berangkat, ya? Ibu menjawab dengan senyum lebar terkembang di wajahnya. Menyodorkan kaos kaki yang baru saja selesai ia jahit dengan tangannya.

"Loh, kok warna benangnya putih, sih, Bu? Ini kan kaos kaki warnanya hitam, nanti kelihatan sama teman-teman, aku malu, Bu."

"Tadi Ibu sudah ke warung untuk membeli benang warna hitam, tapi sedang kosong, Ndhuk. Nanti kalau kamu sudah pulang sekolah, Ibu akan ganti benang yang warnanya hitam, ya? Untuk sementara tidak apa-apa kamu pakai ini dulu. Ibu janji, segera Ibu akan ganti jika Ibu sudah dapat benang hitamnya."

"Baiklah, Bu. Aku berangkat sekolah dulu." Aku mencium tangan Ibu masih dengan wajah cemberut.

Aku tidak pernah tahu mengapa Ibu tidak pernah marah kepadaku. Walau seringkali sikapku buruk, Ibu tetap saja bersikap lembut. Aku pernah berpikir, adakah orang yang bisa tidak pernah marah selama hidupnya? Dan aku tahu, hanya Ibu seorang yang mampu melakukannya. Atau mungkin saja aku tidak pernah tahu saat Ibu marah? Ya, bisa jadi Ibu menahan marah dan tetap bersikap manis kepada siapa pun. Bagaimana bisa ada orang sebaik itu?

Bertahun-tahun berlalu, aku tidak juga menyadari bagaimana kasih sayang seorang Ibu bisa tumbuh serimbun itu. Hingga aku dewasa, lulus sekolah, dan merantau untuk bekerja. Ibu tidak pernah sekalipun meminta sesuatu. Bahkan saat aku kekurangan uang, Ibu dengan sigap akan mengirimkan sejumlah uang untukku. Sungguh malu aku mengingat semuanya.

SOLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang