Oleh Siti Maryam
Waktu berjalan begitu cepat dan tak terasa anakku sudah menginjak empat tahun. Rasanya baru kemarin aku melahirkan anak semata wayangku di rumah sakit dekat kota. Aku menerima tujuh jahitan pasca melahirkannya sebab suatu kondisi darurat yang mengharuskanku melakukan operasi caesar. Di hari itu adalah momen terbaik yang tak pernah kuduga sebelumnya. Aku menjadi seorang ibu.
Kini, putraku tumbuh besar layaknya anak pada umumnya. Tubuhnya tinggi dengan kulit putih pucat dan tampan seperti ayahnya. Namanya Arka. Aku sangat menyayanginya, begitu juga keluargaku. Sayangnya, sampai saat ini aku belum bisa menjadi ibu yang baik. Setahun yang lalu aku berpisah dengan ayahnya dan membuatku terpaksa harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan Arka. Iya, aku seorang single parent yang saban hari menitipkan putraku pada kakek dan neneknya saat bekerja.
"Ibu, hari ini ulang tahunku. Ibu jangan lupa datang ke pesta ulang tahunku nanti malam, ya! Ayah, Om, Kakek, Nenek, sama Tante Hana sedang membuat persiapan," kata bocah laki-lakiku.
Aku tersenyum manis pada sosok anak laki-laki yang kupanggil Arka. "Iya, Sayang. Ibu janji akan membawa kado ulang tahun untukmu. Ibu kerja dulu, ya. Ingat, kamu harus nurut sama kakek nenekmu."
Kemudian kukecup dahi Arka. Ibu dan bapakku menunggu di depan pintu rumah. Ku lambaikan tangan pada mereka sebelum seorang pemuda yang selama dua bulan terakhir dekat denganku datang menjemput. Benar saja, ia datang dengan mobil mewahnya. Pemuda yang usianya setahun lebih muda dariku membuka sedikit jendela mobil untuk menyapa keluargaku sebentar. Aku menarik knop mobil dan duduk di sampingnya. Mobil pun melaju dengan cepat sembari meninggalkan kepulan asap yang membumbung di udara.
****
Hani, hari ini kita makan lagi ya di restoran ayam dekat apotek.
Sebuah notifikasi mengagetkanku. Hari ini aku bingung mau membelikan hadiah ulang tahun untuk anakku. Akan tetapi, Radit mengajakku makan sepulangku bekerja di apotek. Bagaimana ini? Di sisi lain, anakku memintaku untuk hadir dalam pesta ulang tahunnya yang ke empat. Mana dulu yang harus ku prioritaskan?
"Dari siapa, Kak Hani? Pasti dari Mas Radit, ya?" Rekan kerjaku yang mengenakan kacamata curi-curi pandang padaku yang sedang membuka ponsel.
Aku menoleh dan menyunggingkan senyum. "Dek Lisa ini bisa saja. Kakak bingung nih. Arka sedang menungguku pulang bekerja sembari memberikannya kado ulang tahun. Tapi Mas Radit malah mengajakku makan malam."
Rekan kerja yang selama ini menemaniku bekerja hampir dua tahun tampak berpikir. "Pesta ulang tahun Arka kapan, Kak?" tanyanya.
"Hari ini. Jam tujuh malam."
"Kak Hani masih ada waktu empat jam lagi menuju pesta ulang tahun anak Kakak. Kakak bisa tuh ngeluangin waktu buat pacar Kakak yang berondong itu." Lisa mengedipkan mata.
"Iya sih."
Lalu sebuah mobil berwarna merah parkir di depan apotek. Yoga dan Ardi yang juga rekan kerjaku terus mengusikku. Kegiatan beres-beres toko hampir selesai, ku abaikan mereka, lantas menemui pengemudi mobil. Radit tersenyum manis, membuatku ingin jatuh dalam dekapannya. Dialah pria yang Tuhan hadirkan saat aku melewati masa sulit setelah diceraikan.
"Ayo, Han!" ajaknya seraya membukakan pintu mobil. "Semuanya, saya pamit dulu! Assalamualaikum ...," sapanya kemudian.
"Waalaikumsalam, Mas Radit! Kak Hani!" balas rekan kerjaku.
Mobil Mercedes Benz yang dikemudian Radit melaju melewati jalanan kota yang lumayan sepi. Aku duduk di samping Radit sembari mendengarkan alunan musik. Senang rasanya apabila menghabiskan waktu bersama orang yang dicintai. Kami pun tiba di tempat yang dituju, sebuah restoran ayam terenak di kota.