Sekelumit Kisah
Karya: Nyimas Nur Alinda
Hari ini sungguh melelahkan, jadwal sekolah dan tugas yang menumpuk sudah cukup menguras seluruh tenagaku. Sekarang waktunya aku beristirahat di dalam kamar. Belum sampai di kamar, aku mendengar ada seseorang yang mengetuk rumahku.
"Assalamualaikum." Ketukan di daun pintu disertai suara halus seorang wanita membuatku urung melanjutkan langkah.
"Waalaikumusalam," jawabku sambil menuju ke arah pintu kemudian membukanya.
"Halo, Tania, maaf ya mengganggu waktu istirahat kamu," ucap Riri.
"Oh, iya, tidak apa-apa. Masuk dulu yuk," jawabku sambil sedikit tersenyum.
Aku pun langsung mengajak Riri duduk di ruang tamu dan memberikan segelas air putih.
"Ini minum dulu. Maaf ya tidak ada makanan apa-apa, soalnya mama dan papaku masih di luar kota."
"Eh, tidak apa-apa sih, sekali lagi maaf ya jika aku merepotkan kamu," ucap Riri.
"Ngomong-ngomong ada keperluan apa kamu datang ke sini?" tanyaku.
"Em bagaimana ya, ja-jadi," ucap Riri terbata-bata.
"Apa? Ayolah bilang saja, kalau aku bisa bantu ya aku akan bantu," tanyaku yang mulai sedikit merasa resah dengan kehadiran Riri.
"Aku mau pinjam uang, sedikit saja kok," pungkasnya dengan wajahnya yang mulai memelas.
"Memangnya perlu berapa? Soalnya aku lagi tidak pengang uang banyak," jawabku, sambil berbalik tanya.
"Hanya dua ratus ribu saja kok."
Aku merasa kasihan dan sedikit kesal sih dengan Riri, karena sebelum-sebelumnya Riri terkesan sombong dan seolah-olah tidak mau berteman dengan diriku. Kami memang berbeda geng, mungkin itu sebutan yang sering diucapkan anak zaman sekarang. Itulah salah satu alasan aku tidak terlalu akrab dengan Riri, tetapi sekarang tiba-tiba Riri datang ke rumahku dan mau meminjam uangku.
"Kok kamu melamun, aku tadi bilang mau pinjam uang sebesar dua ratus ribu, boleh tidak?" ucap Riri tanpa beban.
"Bentar-bentar, kamu mau pinjam uang untuk apa dulu?" tanyaku sambil berpikir.
Riri bercerita, bahwa dia tinggal di kota Jakarta ini hanya sendirian, dia bilang bahwa dia membutuhkan uang untuk keperluan sehari-hari, karena uang yang dikirim oleh kedua orang tuanya yang ada di desa sudah habis. Dia juga mengatakan bahwa akan membayarnya dua minggu lagi, karena orang tuanya yang di desa baru bisa mengirim uang dua minggu lagi. Riri juga berpesan kepadaku untuk tidak memberitahu kepada siapa pun bahwa dia meminjam uang kepadaku, karena katanya dia malu dengan teman-teman yang lain. Tanpa pikir panjang aku langsung mengiyakan kemauannya. Aku juga langsung mengambilkan uang tabunganku di kamar dan langsung kuberikan kepada Riri. Setelah itu Riri langsung pulang dan mengucapkan terima kasih kepadaku.
Sudah lebih dari tempo waktu yang Riri janjikan, tetapi sampai sekarang Riri belum juga membayar utangnya, malahan dia terkesan menghindar dariku.
"Panjang umur juga itu anak, baru saja aku sebut, dia sudah ada di depan mata," ucapku dalam hati.
Namun, Riri lewat begitu saja di depan mataku, tanpa menegur apalagi mau membayar utangnya.
"Ri, ini sudah tanggal berapa? Kata kamu mau membayar utangmu yang kamu pinjam waktu itu," teriakku sambil menarik tangan Riri.
"Aduh, Tan, jangan keras-keras bilangnya, nanti yang lain pada dengar," bisik Riri kepadaku.
"Iya, iya, terus kapan mau bayar utangmu itu?" tanyaku yang menahan marah.