Bagian 8 : Sebuah Proses Hijrah (1)

5.7K 229 21
                                    

Aku hanya terus menekuk wajah sejak semalam Ayah memintaku ikut tinggal bersama Reyhan. Tak habis pikir, kenapa Ayah malah menyuruhku taat padanya dan pergi dari rumah ini. Apa benar, Ayah sudah tidak menginginkan keberadaanku lagi?

"Aysha, kamu sudah siap?"

Aku mendongak, Reyhan berdiri di hadapanku dengan raut wajah datarnya.

"Hem." Aku menjawabnya singkat dan sedikit ketus.

"Kamu tidak pakai hijab?"

Pertanyaan itu seketika membuat mataku melotot ke arahnya. "Gak!" tegasku.

Lantas Reyhan mengambil sesuatu dari dalam koper. Aku melihatnya sibuk memilih beberapa pakaian, seperti sibuk mencari.

"Ini, kamu pakai."

Aku masih tetap enggan menatapnya.

"Aysha, saya sedang bicara dengan kamu."

"Astaga...." desahku malas. Begitu aku melihat ke arahnya, mataku langsung terfokus pada kain yang ada di tangannya.

"Apaan tuh?"

"Gue gak mau pakai jilbab, titik!" tegasku lagi.

"Kamu tetap harus memakainya, itu menjadi tanggung jawab saya sekarang. Saya tunggu di luar."

Aku mengerutkan kening setelah Reyhan meletakkan kain tadi ke atas ranjang dan meninggalkanku begitu saja. "Apaan sih? Dia lagi maksa gue?"

Lama kelamaan sikap Reyhan itu membuatku kesal. Dia memang tidak pernah kasar, tapi sikap sok tegasnya membuatku merasa ditekan harus mengikuti arahannya. Memangnya dia itu siapa?

"Nak Rey, ayah mohon kamu sabar ya dengan sikap Ay, dia memang terbiasa dibebaskan dalam segala hal sejak dulu. Jujur ... memang, itu adalah kesalahan Ayah."

Aku terkejut begitu keluar dari kamar dan langsung disuguhi pemandangan ayah yang sedang memeluk Reyhan.

"Ayah sudah sangat bersalah sehingga Aysha tumbuh menjadi gadis yang sulit di atur. Itu bukan kesalahan Aysha, tapi kesalahan ayah yang tidak perhatian dengannya."

Baru kali ini aku melihat ayah menangis sampai sesenggukan begitu. Kelihatannya ayah menumpahkan segala keresahan dalam hatinya.

Aku melihat Reyhan tersenyum sambil mengusap bahu ayah. Itu adalah senyuman yang sangat ramah. Berbeda sekali ketika Reyhan menatapku, wajahnya lebih sering datar tanpa ekspresi.

"InsyaAllah, ayah jangan cemas. Pikirkan kesehatan ayah lebih penting. Aysha sudah menjadi tanggung jawab Rey dunia dan akhirat."

Jantungku berdegup kencang begitu mendengar perkataan Reyhan. Kesehatan ayah? Maksudnya apa? Bukankah ayah sehat-sehat saja?

"Rey, jangan ceritakan tentang kondisi ayah ya. Ayah tidak mau Aysha jadi cemas."

"Baik, Yah, insyaAllah."

"Maksudnya apa? Gak mungkin Ayah sakit, kenapa ayah gak cerita?" gumamku jadi kepikiran. Ayah memang sempat menderita hipertensi, tapi seingatku sudah lama hipertensi ayah tidak kambuh lagi.

"Aysha, kenapa kamu malah berdiri di sini?"

Kemunculan bude Ajeng yang tidak kusadari sebelumnya membuat aku terkejut.

Dijodohkan Dengan Santri (Gus Reyhan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang