Steve menancap gas dengan kecepatan penuh dan ia tahu ke mana tujuannya. Sesampainya di tempat tujuan, kami memerhatikan dari jauh untuk mengamati situasi. Dari kejauhan kami melihat para pasukan Hydra itu menurunkan orang-orang ber-jas dari mobil.
"Siapa mereka?" tanyaku pada Steve.
"Hydra." Jawab Steve.
"Aku tahu. Maksudku, orang-orang yang di sandera itu, siapa?" Tanyaku kembali.
"Agen-agen dari Shield. Peggy salah satunya." Jawab Steve.
Mereka memasukkan agen tersebut ke dalam sebuah bangunan. Salah satu agen yang berada di barisan paling belakang melawan dan menghajar tentara yang membawanya.
DRET...
Bucky yang baru saja keluar dari mobil langsung menembak dan membuat agen tersebut tewas di tempat.
"Apa yang harus kita lakukan?" Tanyaku kembali. Aku tahu aku banyak bertanya dan terlalu manja karena tidak bisa membuat keputusan.
"Bawa Handy Talkie ini. Aku akan mengikuti mereka dari jauh, kau menyusup dari pintu belakang. Aku akan mengalihkan perhatian mereka saat sudah di dalam, dan kau lumpuhkan para tentara Hydra itu." Perintah Steve.
"Aku tidak tahu apakah aku mampu melakukan itu, Steve." Kataku ragu.
"Aku melihat caramu membidik senjata. Kamu bukanlah orang sipil biasa, kau terlatih. Percayalah padaku." Ujar Steve yang terlihat sangat yakin. "Tapi ingat, jangan bunuh siapa-pun, lumpuhkan saja. Kau terlatih, memori otot dan reflek-mu akan membantumu." Lanjutnya.
"Jangan bunuh? Ayolah, mereka orang jahat." Kataku pada Steve dan menyadarkanku bahwa mungkin di kehidupanku, aku adalah orang yang tega.
"Vanessa. Membunuh bukanlah keadilan, lagi pula itu akan merusak garis waktu." Kata Steve menjelaskan padaku dengan sabar.
"Oke, Capt." Kataku dengan sadar, ia adalah Captain America. Ia sudah menjalani banyak hal dan membuat banyak rencana.
Aku dan Steve pun keluar. Aku dan Steve mengendap ke belakang mobil kami. Ia mengambil salah satu besi rongsok dan menekuk besi itu sehingga nyaman untuk dibawa layaknya perisai.
"Kehilangan perisaimu?" Ledekku kepada Steve teringat sampul majalah Steve dengan kostum Captain America-nya yang memegang perisai.
"Perisaiku sudah milik orang lain." Jawabnya sambil sedikit tersenyum. "Cepat, ke belakang sana, dan tunggu aba-abaku dari Handy Talkie." Perintahnya padaku sambil menunjuk ke bangunan belakang.
Aku pun mengendap dengan cepat untuk ke pintu belakang. Semua sandera dan tentara sudah masuk ke dalam bangunan. Sebelum masuk, aku melihat Steve berlari ke arah pintu depan untuk mengejar mereka. Aku pun masuk melalui pintu belakang. Aku memajukan kepalaku sehingga telingaku menempel dengan pintu untuk mendengar apakah di dalam sana aman. Tidak ada suara terdengar. Aku pun mendobrak pintu tersebut dan memang tidak ada orang.
Aku sudah menyiapkan pistol di tanganku berjaga-jaga apabila ada yang melihatku. Aku masuk dan menemukan pintu lainnya. Aku mengintip sedikit dari balik dinding dan situasi aman. Aku mendengar suara yang lantang dari ruangan sebelah. Aku mencari celah untuk mengintip kesana. Aku menemukan jendela sangat kecil seperti lubang ventilasi dan berusaha untuk melihat ada apa di balik sana.
Rupanya di ruang sebelah merupakan ruangan luas dengan atap langit yang tinggi. Para sandera ada di sana dan semua tentara menengadahkan senjatanya kepada masing-masing agen yang di sandera. Aku memindai ruangan dan melihat terdapat balkon di atas yang aku pikir merupakan tempat lumayan strategis. Aku menemukan tangga di ruanganku yang aku rasa dapat mengarahkanku ke balkon tersebut.
Aku perlahan menyusuri tangga itu dan membuka salah satu pintu yang terarah ke balkon. Aku memosisikan tubuhku tengkurap agar tidak terlihat oleh mereka yang ada di bawah.
"Vanessa. Bagaimana di sana?" tanya Steve pada Handy Talkie. Untung saja balkon ini tinggi, sehingga orang-orang di bawah tidak akan mendengar.
"Mereka semua ada di ruangan luas. Aku berada di balkon atas. Aku menghitung ada 11 tentara di dalam sini dan 6 orang sandera. " Jawabku pada Steve.
"Oke. Aku akan masuk dari pintu samping. Saat aku masuk, lumpuhkan mereka. Jangan lupa, amunisimu terbatas." Ucap Steve.
"Tenanglah, menghitung peluru adalah keahlianku." Kataku. Entah mengapa aku mengatakan itu, itu refleks.
Aku melihat ke arah pintu samping di bawah sana. Aku menunggu sekitar 2 menit, aku rasa Steve sedang berusaha melawan penjaga di luar pintu tersebut. Tidak lama, pintu tersebut terdobrak. Semua tentara yang menyadera di dalam sini langsung menoleh ke arah Steve. Steve dengan perisai besi buatannya melindungi badannya. Saat para tentara mengarahkan senjata ke arah Steve, Steve menangkis peluru-peluru tersebut. Melihat peluang itu, aku langsung beraksi.
"Ok, 16 peluru untuk 11 orang." Gumamku kepada diriku sendiri.
Aku berdiri dan membidik kaki para tentara di bawah.
DUAR. DUAR. DUAR. DUAR. DUAR. DUAR. DUAR.
Steve benar, memori otot dan reflekku bekerja. Aku memang terlatih. 4 tentara sudah lumpuh. Aku melihat salah satu agen berdiri dan berlari, seorang tentara membidik agen yang hendak kabur. Aku langsung melesat-kan peluruku dan menembak tangan tentara itu. Di bawah sana, Steve melumpuhkan tentara lainnya yang melawan. Peggy menendang kaki tentara yang mengarahkan senjata padanya. Melihat sudah banyak tentara yang jatuh, para agen pun berdiri dan membantu Steve untuk melawan.
Aku pun segera turun melalui tangga yang tadi aku naiki. Tidak ada jalan keluar lain selain tangga ini, dan akan terlalu sakit jika aku melompat dari ketinggian 8 meter, bukan? Aku turun dan mencari pintu untuk pergi ke ruangan besar itu. Baru saja aku turun dari tangga. Seseorang menarik kakiku dan membuatku terjatuh. Aku melihat ke arah orang tersebut. Bucky?
(Don't forget to vote. It means a lot. Thank You)
KAMU SEDANG MEMBACA
Captain America: Another World (X Reader - Bahasa Indonesia)
Fanfiction[Fan Fiction Spin Off dari Avengers: End Game] Setelah kemenangan melawan Thanos, Steve hendak mengembalikan Infinity Stones ke garis waktu asalnya. Dalam perjalanannya mengembalikan batu-batu tersebut, Steve dikejutkan dengan kehadiran seorang pere...