SELAMAT MEMBACA^^
•••🍁•••
Sore itu, Mentari ingin membuat otot-otot tubuhnya sedikit bergerak. Sekedar lari sore itu cukup, apalagi ia sedang tidak latihan badminton bersama Bumi.
Mengingat tentang badminton, Mentari tak menyangka pertandingannya akan segera dimulai. Ia benar-benar perlu latihan ekstra, ia tidak mau mengecewakan dirinya sendiri ataupun orang lain. Termasuk Bumi yang sudah mendidiknya.
"Capek astaga. Butuh istirahat." Mentari mengelap peluh yang ada di keningnya. Kaos putih polosnya sudah sedikit berkeringat, ia terlalu bersemangat.
Tiba-tiba saja seseorang menghampirinya, merebut topi miliknya lalu memakinya. Mentari mendongak, mengulum senyum saat melihat itu Elang.
"Topi lo bagus. Gue ambil ya?" goda Elang sembari duduk, meminta Mentari untuk duduk di sampingnya pula.
"Itu punya kak Bumi. Lupa balikin." Elang langsung mengubah raut wajahnya. Dengan cepat ia melepaskan topi tersebut, memandangnya lalu membuangnya.
"Eh? Kok dibuang sih kak?" tanya Mentari terkejut. Pasalnya itu bukan topi miliknya. Elang menggendikkan bahunya acuh.
"Jelek sih," jawab Elang acuh. Merentangkan lengannya di sandaran kursi, menatap Mentari yang penuh keringan.
"Ya nggak dibuang juga," omel Mentari yang tidak dipedulikan Elang. Mata cowok itu terus memandangi wajah Mentari, meskipun berkeringat tetap cantik. Dan selalu membuat jantung Elang berdebar.
Mentari yang sadar diperhatikan pun ikut menatap balik. Menatap Elang dengan aneh, tatapan Elang begitu sulit ia artikan. Apalagi senyuman tipis cowok itu.
"Kakak kenapa sih?" tanya Mentari sedikit sinis, maklum begitu lah jika tamu datang. Elang terkekeh kecil sembari geleng-geleng kepala.
"Enggak. Ya cuma ... kagum aja sih," jawab Elang semakin melebarkan senyumnya. Matanya seakan sulit lepas dari paras cantik Mentari.
"Kagum kenapa?"
"Kalau kagum sama seseorang, sampai pengen memiliki. Boleh nggak?" tanya Elang membuat Mentari berpikir-pikir, mencari kata-katanya yang tepat untuk menjawab. Lalu kembali menatap Elang.
"Tergantung. Orang itu terlihat bisa digapai atau enggak." Elang diam, membiarkan Mentari melanjutkan ucapannya lagi.
"Contoh, aku kagum sama Kim Taehyung. Tapi enggak berkeinginan untuk memiliki. Karena sadar, terlalu banyak sekat penghalang. Jadi kagum sewajarnya aja."
Elang tersenyum miris, ia nyaris melupakan sekat diantara mereka. Di mana Tuhan mereka sudah berbeda. Kepercayaan mereka berbeda, sedangkan dalam sebuah hubungan kepercayaan akan apapun itu diperlukan.
"Sekat ya? Kalau kita nekat melampaui sekat itu gimana?" tanya Elang lagi. Mentari menghela napas.
"Balik lagi, tergantung seberapa besar sekat itu. Kalau kagum, jangan sampai melampaui batas, kak." Elang masih mempertahankan senyumnya, tangannya mengusap-usap kepala Mentari dengan lembut. Miris menerima kenyataan, jika Tuhan mereka berbeda.
"Gimana kalau sekat besar itu Tuhan." Mentari terdiam, ia langsung teringat dengan Bumi dan Glory. Sekat diantara keduanya juga Tuhan.
"Kak, membangun sebuah hubungan dengan pondasi yang berbeda itu nggak mungkin bisa. Pada akhirnya, akan ada yang harus mengalah atau kalah."
Elang terdiam, hatinya benar-benar miris sekali. Rasanya sesak, tapi ia memang harus terima sebuah kenyataan itu. Lagi, Elang masih mempertahankan senyumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BumiMentari
Teen Fiction"Kakak peduli banget sama aku. Apa kakak suka sama aku?" "Dengerin, semua itu lo nggak bisa menyimpulkan rasa suka." "Ihh! Gengsian!" kesal Mentari sembari menepis tangan Bumi. "Gue belum siap untuk jatuh cinta dan menjalin hubungan lagi." "Hm...