SELAMAT MEMBACA^^
•••🍁•••
Ada dua opsi dalam sebuah pertandingan, jika tidak kalah maka akan menang. Itu hal yang selalu terjadi dalam pertandingan. Sekarang pun Mentari menghadapi 2 opsi itu, menyiapkan diri untuk kalah atau menang.
Kini, kakinya mulai melemas. Tangannya mulai melepas raketnya, menjatuhkan nya. Bersamaan dengan dirinya yang terduduk lemas, memandangi skor akhir. Dirinya kalah.
Mentari terdiam, menyaksikan kemenangan lawannya dan merasakan kekalahan nya. Ia gagal, tapi Mentari sadar, perjuangan nya tidak sia-sia. Helaan napas terdengar, perlahan Mentari mulai berdiri.
"Hai," sapa Elang menghampiri Mentari, bersama yang lainnya. Mentari menoleh, mencoba tersenyum. Ayahnya sudah merentangkan tangan, Mentari langsung berhamburan ke pelukan Ayahnya.
"Kalau kamu nggak menang, berarti ini bukan jalan kamu. Ayo, cari jalan lain menuju kemenangan. Ayah berjalan sama kamu, nak."
Ayah Mentari mencoba menenangkan putrinya, mengusap-usap kepalanya dengan lembut. Mentari juga menguatkan dirinya, bahkan tidak menangis. Meski ingin.
"Kalau nggak bisa membanggakan kemenangan, setidaknya banggakan perjuangan nya." Mentari manggut-manggut mendengar nya, rasanya sudah ingin menangis.
Kecewa tentunya, tapi disaat-saat seperti ini Mentari masih memikirkan Bumi. Lebih tepatnya ia takut mengecewakan Bumi, biar bagaimanapun Bumi yang sudah mengajarinya dari 0.
Mentari menghela napas lagi, melepaskan pelukan Ayahnya perlahan. Menantap teman-temannya, sedikit tersenyum agar mereka tidak khawatir.
"Gapapa, pemenang sejati nggak harus selalu angkat piala," ucap Elang sembari menepuk-nepuk pundak Mentari, masih tersenyum lebar. Mentari ikut tersenyum, dengan pelan menepis tangan Elang.
Mata Mentari menoleh ke sekitar, mencari-cari seseorang. Jujur saja ia mencari keberadaan Bumi, sangat berharap cowok itu tetap di sini, meski tadi ia mengusir nya.
Begitulah, Mentari yang mengusirnya, merasa terganggu dengan keberadaan nya. Tapi sebenarnya, Mentari juga ingin cowok itu tetap di sisinya.
"Dia nggak ada," ucap Fany sembari menepuk pundak Mentari. Tahu apa yang dicari Mentari. Mentari mengangguk paham, Bumi benar-benar pergi tanpa menonton pertandingan nya. Sekarang ia yang merasa menyesal.
Entah apa yang dilakukan Bumi di luar sana? Apa yang terjadi dengan cowok itu? Mentari khawatir, ia hanya berharap semuanya selalu baik-baik saja. Tidak ada yang berubah.
Elang mengendarkan pandangnya, melihat sekitar yang sedang merayakan kemenangan tim sebelah. Matanya berhenti bergerak, melihat seseorang di tepi lapangan. Elang mempertajam penglihatan nya, jelas itu Glory.
"Pamit bentar," ucap Elang pada Mentari. Berjalan menghampiri Glory, gadis itu hanya diam di pojok lapangan. Glory mungkin tidak mau bertemu dengan Mentari dulu.
Mentari hanya memperhatikan pergerakan Elang, matanya juga melihat Glory. Sebisa mungkin Mentari tampak biasa saja. Dan tidak mau tahu apa yang terjadi pada kakak beradik itu, tapi ia sangat penasaran. Apa ini berhubungan dengan Bumi?
"Dek, kenapa di sini?" tanya Elang sembari menepuk pundak Glory, ia melihat jelas kecemasan di wajah Glory. Mata gadis itu pun menjelaskan bahwa Glory habis menangis.
Elang menghela napas pelan, tanpa bertanya lebih lanjut ia langsung memeluk Glory. Mendekapnya erat, membiarkan Glory menangis dulu. Entah apa yang terjadi, Elang ingin menenangkan Glory dahulu.
•••🍁•••
Elang membawa Glory keluar dari stadion tersebut. Memberikan kenyamanan, jauh dari keramaian. Agar Glory punya waktu untuk bercerita. Duduk berdua di taman dengan dinginnya malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
BumiMentari
Teen Fiction"Kakak peduli banget sama aku. Apa kakak suka sama aku?" "Dengerin, semua itu lo nggak bisa menyimpulkan rasa suka." "Ihh! Gengsian!" kesal Mentari sembari menepis tangan Bumi. "Gue belum siap untuk jatuh cinta dan menjalin hubungan lagi." "Hm...