SELAMAT MEMBACA^^
•••🍁•••
Sesekali hati perlu merasakan sakit dahulu, merasakan bagaimana hancur nya hati itu. Agar nanti, hati itu menjadi kuat. Karena semakin kita melangkah ke depan, semakin banyak badai yang kita temui. Hati harus kokoh.
Mungkin menangis tak apa, justru itu hal yang penting. Setidaknya hati menjadi lega. Menyendiri itu juga perlu, menenangkan diri sejenak.
Semua orang punya cara self healing nya masing-masing. Mentari memilih duduk di atas pohon, menikmati terpaan angin dan keteduhan dari daun-daun pepohonan. Membiarkan air matanya mengalir.
Mentari mengizinkan tangis nya pecah, tidak menahannya lagi. Membiarkan semuanya lepas, seperti Bumi. Mentari mencoba melepaskannya, tapi hatinya masih berharap semua ini tidak nyata.
"Tapi ini benar," gumam Mentari dengan sangat lirih. Matanya berkedip sekali bersamaan dengan air matanya yang turun. Menundukkan kepalanya, merasakan lelah.
Tidak bisa menyangkal, semua ini memang benar. Mentari harus menerima itu, menerima bahwa pacarnya telah melecehkan gadis lain. Gadis yang pernah dicintai nya dulu.
"Seharusnya aku tadi nggak ikutin dia," lanjut Mentari terkekeh kecil, terkekeh sinis yang menyiratkan luka. Mengusap air matanya sembari tersenyum tipis.
Mentari menghela napas, menyesal karena tadi penasaran dengan apa yang akan dilakukan Bumi di rooftop. Seharusnya Mentari tidak mengikutinya agar tidak tahu apa-apa.
Karena kadang, tidak tahu apa-apa jauh lebih baik. Dibandingkan kita mengetahui sebuah kebenaran itu, yang pada akhirnya menyakiti kita.
Tanpa Mentari sadar, dari bawah ada Elang yang menatapnya. Elang menatap Mentari dari kejauhan, membiarkan Mentari punya waktu sendiri. Mengerti bagaimana perasaan gadis itu saat ini.
Langkah kaki Elang berpindah secara perlahan. Mengusap rambutnya dengan kasar. Perasaannya semakin berkecamuk, melihat bagaimana hancurnya 2 gadis yang ia cintai. Adik dan Mentari nya.
"Si brengsek itu," umpat Elang dengan kedua tangan terkepal di samping tubuhnya. Menyorotkan amarah, dikepalanya terbesit wajah Bumi. Semakin membuat amarahnya memuncak.
•••🍁•••
Bumi sudah seperti orang ling-lung yang kehilangan akal. Berjalan tanpa arah, pandangan begitu kosong dan wajahnya sangat kusut. Tidak tahu apa yang dipikirkannya, jelas saja pikirannya kacau.
Sampai sekarang Bumi masih terkejut dengan fakta itu. Ia ingin menyangkal, tapi bukti sudah orang-orang lihat. Bahkan Bumi sendiri tidak bisa memastikan benar tidaknya, Bumi seperti orang kebingungan.
Mentari membuat pikirannya semakin kacau, mengkhawatirkan gadis itu. Bumi sungguh merasa hancur melihat bagaimana ia telah menghancurkan senyum gadisnya. Senyum yang menjadi penyemangat nya.
"Gue ceroboh." Bumi mengusap wajahnya kesal, duduk di kursi pinggir jalan yang ia temukan. Memukul-mukul kepalanya, rasanya sangat pusing.
"Ini udah berakhir?" tanya Bumi pada dirinya sendiri, bertanya akan hubungan nya dengan Mentari. Apa setelah ini Mentari benar-benar akan mengakhirinya? Karena ini? Apa ini sungguh fatal?
Ya, sepertinya semua pertanyaan itu jawabannya adalah iya. Bumi sadar, masalah ini bukan sembarang masalah yang mudah di maafkan. Akan sulit dan menyakitkan.
"Tapi mengakhirinya juga menyakitkan." Bumi berdecak kesal, meratapi nasibnya, semuanya berawal karena keisengannya datang ke club. Bumi benar-benar hilang kendali, sampai mungkin tidak sadar melakukan hal itu dan lupa.
KAMU SEDANG MEMBACA
BumiMentari
Teen Fiction"Kakak peduli banget sama aku. Apa kakak suka sama aku?" "Dengerin, semua itu lo nggak bisa menyimpulkan rasa suka." "Ihh! Gengsian!" kesal Mentari sembari menepis tangan Bumi. "Gue belum siap untuk jatuh cinta dan menjalin hubungan lagi." "Hm...