°39. Harus Hidup.°

117 15 1
                                    

SELAMAT MEMBACA^^

•••🍁•••

Bumi membuka pintu rumahnya, rumah tempat ia dan teman-temannya. Pikiran Bumi sedang tidak stabil, mungkin rumah ini mampu menenangkan pikirannya.

Bumi masuk, menatap teman-temannya yang duduk di sofa. Memandangnya dengan datar, tidak seperti biasanya. Tidak ada kehebohan, semuanya menatapnya diam.

Bumi heran, berjalan perlahan mendekati mereka. Hendak ikut duduk bersama, tapi Daniel menahannya. Menggenggam tangan Bumi erat, mencekalnya kuat-kuat. Sedikit membuat Bumi meringis.

"Basi punya temen kayak lo." Daniel menatap Bumi tajam. Emosinya tersulut, emosi Bumi juga ikut tersulut. Menepis tangan Daniel, lalu menarik kerah Daniel.

"Mau lo apa?" tanya Bumi tidak santai, sepertinya suasananya tidak stabil.

"Lo yang mau nya apa!" Daniel mendorong tubuh Bumi hingga jatuh ke lantai. Berjongkok di depan Bumi, menatapnya sinis.

"Bro, lo udah dapat Mentari. Harus lo kecewain dia? Harus lo hancurin dia? Harus lo cari cewek lain?" lanjut Daniel, lagi-lagi Bumi hanya bisa diam. Setelah dihakimi Elang sekarang teman-temannya.

"Meski lo kondisi mabuk, lo tetap salah. Jelas di sini kita bela Mentari," imbuh Alfon angkat suara.

"Lo hancurin hati cewek lo, dan lo hancurin masa depan Glory. Dua-duanya sama-sama hancur karena lo." Daniel angkat bicara lagi, memberikan tamparan keras untuk Bumi. Bumi tahu salah, ia hanya diam.

David menghela napas, mendekati Bumi. Menepuk-nepuk pundak cowok itu. Memberikan sedikit semangat.

"Kita gini, karena mau yang terbaik buat lo. Lo teman kita, lo salah, kita ingatin. Perlu dikasih pelajaran dikit," ucap David. Bumi menerima perlakuan itu, memang dirinya salah.

"Tapi kita teman, harus dukung lo untuk bangkit. Pikirin, selanjutnya lo harus berbuat apa sama 2 cewek itu." Alfon ikut menambahi, memberi sedikit masukan.

"Kasih yang terbaik untuk mereka, dan diri lo sendiri. Ambil keputusan yang bener," tambah Daniel. Bumi hanya bergumam saja, tahu maksud baik teman-temannya.

•••🍁•••

Perlu sedikit apresiasi untuk diri sendiri, karena telah melewati hari-hari yang melelahkan. Menyambut pagi dengan senyum, dan berusaha menutup malam dengan senyum pula.

Itu lah yang dilakukan Mentari beberapa hari ini. Melewati hari-hari sulit untuknya, sekuat mungkin menghindari Bumi. Kembali, seakan tidak saling mengenal.

Hari ini juga, Mentari memulai pagi dengan semangat penuh. Jelas, hari ini adalah final untuk Mentari. Setelah berhari-hari ia bekerja keras, hari ini ia akan membuktikan.

"Meski tanpa kakak," lirih Mentari pelan. Tangannya masih sibuk menyiapkan raket dan peralatan lainnya, mencoba menepis semua rasa sedihnya. Hari ini ia harus berjuang bukan?

Mentari menatap sekitar, banyak orang sudah hadir di lapangan. Teman-teman dan orang tua Mentari juga hadir. Minus nya, tidak ada Bumi. Cowok yang dari 0 menemani Mentari, tapi sekarang tidak.

"Hwaiting!" Fany menepuk pundak Mentari, tersenyum lebar menyemangati. Fany tahu seberapa susah Mentari menjalani hari-harinya. Sebagai sahabat, ia sangat dibutuhkan.

Mentari mengusap-usap tangan Fany yang ada di pundaknya. Mentari tersenyum ceria, layaknya seperti biasanya. Tapi tetap saja, vibes senyumnya berbeda.

Perlahan senyum ceria itu mulai pudar lagi. Menatap seseorang yang mulai berjalan mendekat. Bumi mendekatinya dengan senyum lebar. Seolah Bumi menganggap semuanya baik-baik saja.

BumiMentari Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang