°38. Cukup, kak.°

130 16 5
                                    

SELAMAT MEMBACA^^

•••🍁•••

Mentari berjalan dengan lesu, kakinya terus berjalan tanpa semangat. Tubuhnya terus dipaksa bekerja, tanpa semangat apapun. Kakinya mulai membawa tubuhnya memasuki lapangan badminton.

Mentari menatapnya, rasanya berbeda. Setiap kali ia menginjakkan kaki di sini, pasti ada semangat yang menggebu. Tapi sekarang, bahkan senyum pun tak ada di wajahnya. Kehilangan semangat dan tujuannya.

Menghela napas, meski tanpa semangat Mentari tetap harus latihan. Berjuang, setidaknya untuk orang tuanya. Mulai mengambil alat-alatnya, lalu terdiam sejenak.

"Gimana caranya badminton sendirian?" tanya Mentari pada dirinya sendiri. Tak ada seorang pun di lapangan ini, hanya dirinya sendiri. Menatap raketnya, tidak tahu bagaimana memainkannya jika hanya sendiri.

Mentari menundukkan kepalanya, menahan air matanya. Selangkah lagi ia menjadi pemenang, tapi sebelum ia melangkah semangatnya sudah lenyap. Mimpi itu nyaris tak tercipta.

Perlahan, Mentari mendongakkan kepalanya. Matanya melihat sepasang kaki berada di depannya. Menatap pemilik wajah itu dengan ragu. Cowok itu ada di depannya.

Jantung Mentari semakin berdetak kencang, rasa emosinya kembali memuncak. Tidak kuat melihat wajah Bumi, masih ada rasa sakit di hatinya.

"Lo butuh gue," lirih Bumi dengan tatapan terus tertuju pada Mentari. Bumi datang, tahu jika gadisnya masih butuh ia. Bumi hadir, meski Mentari tak lagi peduli akan kehadirannya.

Mentari menggigit bibir bawahnya, menahan kekesalan dan air mata. Tangannya terkepal kuat, melihat wajah Bumi membuat ia membayangkan apa yang Bumi dan Glory lakukan. Menjijikkan.

"Ya, dan kakak gak butuh aku lagi. Itu jelas." Bumi meneguk ludahnya sejenak, kalimat itu sedikit membuat ia tidak nyaman. Menghela napas, maju satu langkah lebih dekat.

"Apa kesalahan gue fatal?" tanya Bumi, yang jelas-jelas ia sudah tahu jawabannya. Bumi hanya ingin mendengar, agar ia lebih jelas dan sadar. Mendengar langsung dari gadisnya.

Mentari tidak bisa menjawab, matanya hanya terus menatap Bumi penuh emosi. Bibirnya kelu untuk mengeluarkan kata-kata, takut jika ia bicara banyak akan menangis.

"Apa kita bisa perbaiki? Apa hati lo siap untuk memperbaiki semua ini?" tanya Bumi hati-hati, ia tidak mau semuanya berakhir dengan meninggalkan luka. Bumi tidak mau semudah itu kehilangan Mentari.

Mentari mengalihkan pandangannya, menggeleng pelan. Rasanya berat, tidak mudah pastinya untuk dirinya. Selingkuh? Tidur bersama? Melakukan hubungan itu? Lalu dimaafkan, tidak untuk Mentari.

"Apa bagi kakak semua hal itu mudah? Melakukan hubungan itu mudah dan memaafkan nya pun mudah?" Mentari bertanya, kembali menatap Bumi. Sungguh, matanya sudah memerah, menahan tangisnya.

Bumi mengepalkan kedua tangannya, marah tentu, lebih tepatnya marah dengan dirinya sendiri. Gagal untuk menahan air mata gadisnya, ia yang membuat gadisnya menangis.

"Ayo latihan," ajak Bumi dengan suara lirih. Mengganti topik pembicaraan, ingin fokus untuk pertandingan Mentari. Bumi melangkah untuk mengambil raket, tapi suara Mentari menahannya.

"Gak, kak," ucap Mentari memotong pergerakan Bumi. Bumi menoleh ke Mentari, gadis itu menatapnya balik.

"Kita memulai semuanya bersama, tapi nggak untuk sampai akhir bersama." Mentari tanpa sadar menjatuhkan raketnya, ia mulai lemas. Wajahnya sangat lesu dan kelelahan.

"Kakak mungkin datang di awal, menemani aku berjuang dari awal. Tapi, kakak nggak bisa menemani aku sampai akhir," lanjut Mentari. Bumi menggeleng pelan, menggenggam tangan Mentari.

BumiMentari Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang