SELAMAT MEMBACA^^
•••
Elang memasuki rumahnya, terlihat sangat kelelahan dari raut wajahnya. Meski lelah, Elang tetap menyempatkan untuk memeriksa kondisi adiknya, Glory.
Elang berjalan menuju kamar adik satu-satunya tersebut. Jelas orang tuanya tidak ada di rumah, selalu sibuk dengan urusannya sendiri. Elang mencoba tidak memikirkan itu, ia membuka kamar Glory.
"Dek," panggil Elang berjalan menuju kasur Glory. Glory yang sedang rebahan langsung duduk. Memberikan senyumnya.
"Udah makan?" tanya Elang sembari mengusap rambut Glory. Glory tersenyum dengan anggukkan kecil. Elang ikut tersenyum.
Glory mengamati wajah Elang, ia bisa merasakan kelelahan di wajah kakaknya tersebut. Glory tahu, sedang ada beban yang Elang pendam. Glory menggenggam tangan kakaknya.
"Kakak kenapa? Jangan sedih gitu lah," ucap Glory, ibu jarinya mengusap-usap lengan Elang dengan lembut. Memberikan kehangatan.
Elang tersenyum tipis, ia mendekatkan dirinya dengan Glory. Memeluk erat adiknya itu, saling berbagi kehangatan dan kekuatan. Menguatkan satu sama lainnya.
"Pada intinya, menerima takdir adalah cara terbaik untuk tidak menyakiti diri sendiri."
Glory diam, mencerna kata-kata Elang. Ia semakin yakin, kakaknya sedang dalam masalah. Meski Glory masih belum paham apa yang dimaksud itu. Glory mengusap-usap punggung Elang.
Elang tidak banyak bicara, ia hanya memeluk Glory. Mencari kenyamanan, sembari memejamkan matanya. Ia dan Glory, merasakan nasib yang sama.
"Kamu, harus cari kebahagiaan mu sendiri. Tanpa harus dengan dia." Elang kembali bersuara, masih terus memeluk Glory. Glory mengangguk-angguk dalam pelukan Elang, ia sudah bisa menebak.
"Mencintai beda agama itu menyakitkan. Kita harus bisa menyikapinya, kalau enggak, kita yang akan banyak makan hati, kak."
Elang bergumam, menyetujui ucapan Glory. Nyatanya adiknya juga pernah ada di posisi itu. Elang merenggangkan pelukannya, menangkup wajah Glory dan menatapnya lekat.
"Kamu hebat, berani mengambil keputusan. Kakak akan contoh kamu. Bahagia, dengan keputusan yang dipilih."
Glory tersenyum lebar, sejak awal ia tahu bagaimana perasaan Elang ke Mentari, ia sudah was-was akan kejadian seperti ini. Glory kembali memeluk kakaknya, menguatkan kakaknya dan dirinya sendiri.
•••🍁•••
Angin malam mulai menusuk ke dalam tubuh 2 remaja yang sedang kasmaran ini. Hingga malam tiba, keduanya masih asik berdua. Jemari-jemari cantik Mentari masih setia digenggam oleh Bumi.
Perlahan Bumi melirik ke bawah, melihat gadisnya yang tengah asik memakan mie lidi. Sudut bibirnya tertarik sedikit, lalu mengeratkan genggaman tangannya agar semakin hangat.
"Kakak," panggil Mentari sembari mendongakkan kepalanya. Bumi hanya berdehem sembari melanjutkan jalannya.
"Habis ini mau ke mana lagi?" tanya Mentari.
"Lo mau ke mana? Gue ikut," jawab Bumi. Mentari diam sejenak, merasakan sedikit sikap hangat dari cowok itu. Galak dan dinginnya seolah meluntur.
"Kakak nggak capek apa jalan terus?" tanya Mentari sembari memanyunkan bibirnya. Bumi merenggutkan senyumnya, tatapannya seketika datar. Cepat sekali merubah ekspresinya.
Mentari mengernyitkan keningnya, mendadak mendapati Bumi yang datar lagi. Ditambah, cowok itu melepaskan genggaman tangannya. Mentari melihat telapak tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BumiMentari
Teen Fiction"Kakak peduli banget sama aku. Apa kakak suka sama aku?" "Dengerin, semua itu lo nggak bisa menyimpulkan rasa suka." "Ihh! Gengsian!" kesal Mentari sembari menepis tangan Bumi. "Gue belum siap untuk jatuh cinta dan menjalin hubungan lagi." "Hm...