°45. Kepastian Seperti Apa?

205 31 23
                                    

SELAMAT MEMBACA ORANG BAIK°°

•••💜•••

"Hubungan kita sekarang gimana sih kak? Masih pacaran?"

Bumi langsung terdiam, pandangannya menatap Mentari dengan tatapan kosong, melihat mata indah itu. Bibirnya masih kelu untuk menjawab pertanyaan itu. Yang ia sendiri juga tidak bisa memberikan jawaban untuk dirinya sendiri. Bumi juga bimbang. Sekarang ini mereka apa?

Pacar? Lalu kejadian beberapa Minggu lalu? Saat Mentari memberi keputusan untuk hidup masing-masing, malam di mana Zico menunjukkan jati dirinya. Bisa kah itu dianggap guyonan sekarang ini?

"Aku mau nya pacar, tapi kan, kak." Mentari tidak bisa melanjutkan kalimatnya, sulit untuk mengungkapkan. Benar-benar tidak tahu harus memberikan sebuah keputusan apa untuk sekarang. Mentari tentu masih mencintai Bumi, itu pasti.

Mendekatkan wajahnya, menarik sudut bibirnya agar membentuk sebuah senyum lebar darinya. Bumi menepuk kedua pundak Mentari, memegang nya. Memberikan tatapan lembut dan dalam, ada kehangatan.

"Gue juga mau. Terus, kenapa nggak lanjut aja?" kata Bumi mengajak diskusi, jika memang sama-sama mau dan memang masih cinta. Kenapa tidak? Kenapa memilih jalan yang nantinya akan menyakiti? Iya bukan?

Mata Mentari memberikan tatapan lesu, kedua bibirnya maju dengan wajah cemberut. Seakan menahan tangis, ia tidak kuat menahannya.

"Kakak terbukti nggak salah. Tapi aku sedih, kecewa sama diri sendiri," lirih Mentari membuat Bumi menggeleng kecil, menatapnya panik. Tidak suka melihat Mentari merasa sedih, apalagi kecewa.

"Kenapa? Masih ada yang ngganjel? Bilang, kita selesaikan," ucap Bumi lembut. Mentari bisa merasakan kelembutan cowok itu, benar-benar kehilangan sisi dinginnya. Semakin membuat Mentari terharu, perubahan Bumi tersebut.

"Sedih aja, kecewa dulu nggak percaya sama kakak, kalau kakak nggak lakuin itu," ucap Mentari dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Bumi terkekeh kecil, mendekap kepala Mentari, memeluk Mentari dengan lembut.

"Sstt, wajar aja lo percaya soal itu. Gue aja percaya dengan bukti-bukti itu. Bodoh ya gue?" Terkekeh kecil lagi, menenangkan Mentari agar tidak merasa sedih dan kecewa. Mengusap-usap nya dengan sepenuh hati.

"Iya ih, kakak juga percaya aja sama bukti itu, padahal nggak lakuin. Kok bisa ih," kesal Mentari, mengomel dengan wajah gemas. Suara gemasnya juga turut membuat Bumi semakin gemas.

"Gue mabuk banget, nggak inget apa-apa," jawab Bumi. Mentari langsung melepaskan pelukannya, memberikan tatapan kesal pada Bumi. Mencubit perut Bumi dengan kesal, Bumi menjerit sakit dan terkejut. Tidak membalas, hanya pasrah.

"Kakak ihh, dengerin ya. Jangan mabuk-mabukan lagi, nggak mau kayak gitu aku," omel Mentari benar-benar menampilkan wajah kesalnya. Ia bisa tahan Bumi merokok meski itu tidak baik. Tapi tidak jika mabuk-mabukan, trauma dengan kejadian ini.

"Iya, nggak lagi." Bumi membentuk jarinya seperti huruf V sebagai tanda maaf, juga menampilkan wajah yang merasa bersalah. Mentari berdecih dan memukul lengan cowok itu.

"Kalau cemburu jangan dilampiaskan ke mabuk lagi," lanjut Mentari membuat Bumi melotot heran. Menggeleng dengan kuat, sembari mencubit gemas pipi Mentari.

"Mana ada cemburu sih? Haah?" Ucap Bumi menguyel-uyel pipi Mentari dengan gemas. Memberontak, melepaskan tangan Bumi dari pipi nya. Melipat kedua tangannya di depan dada, memberikan lirikan mautnya, yang malah terlihat menggemaskan di mata Bumi.

"Ada kok. Itu kan kakak cemburu aku ngobrol sama kak Elang, eh malah mabuk." Mentari menaikkan bibir atasnya, memberikan wajah sinisnya. Bumi mengacak-acak rambut Mentari gemas, merangkul gadis itu lalu berjalan bersama.

BumiMentari Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang