Sebelum baca, tinggalkan jejak kalian dengan memberi vote dan komentar.
Selamat membaca♡
°°°
"Abang," Anindya terkejut saat melihat suaminya yang ada didepan pintu kamar mandi. Pasti suara muntahannya itu mengganggu suaminya yang sedang tertidur.
"Mual lagi?" Tanya Ardhan sambil mengusap wajahnya. Terlihat masih ngantuk, dia memaksakan untuk bangun.
Anggukan dari Anindya membuat Ardhan melangkah mendekat lalu membantu istrinya ke kasur.
"Abang tidur lagi aja, ya. Kelihatannya abang capek banget," usul Anindya. Gadis itu sempat memberikan senyuman untuk suaminya. Sebenarnya senyum itu Anindya tujukan agar suaminya tidak panik.
"Gimana sama kamu? Saya gak tega lihatnya mual terus."
"Mungkin masuk angin aja, aku benar gak papa kok," ucap Anindya yang berusaha menenangkan suaminya.
Ardhan tidak menggubris perkataan istrinya. Dia melirik kearah jam dinding yang menunjukan pukul setengah tiga pagi. "Saya buatkan teh hangat dulu," setelah itu Ardhan benar benar pergi kedapur.
Didapur suaminya itu sedang memasak air panas. Teh celupnya sudah ia taruh digelas tinggal nunggu air panasnya mendidih. Kini ucapan Zio yang dikantor tadi membuatnya kepikiran. Benarkah istrinya itu sedang mengandung?
Kalau dilihat lihat sih gejalanya yang dialami oleh Anindya sama dengan orang hamil. Ardhan masih memikirkan itu.
"Apa jangan jangan dia hamil, ya?" Tanyanya sendiri.
Air panas yang didalam panci dia tuang kedalam cangkir berisi teh celup. Setelah itu ampas tehnya dia buang ketempat sampah karena warna tehnya sudah berubah agak kecoklatan. Tak lupa memberikan gula agar manis dan mengaduknya agar tercampur rata.
Ardhan memberikan teh hangat yang baru saja dibuat olehnya. Gadis itu menerimanya, dan mengucapkan terima kasih.
"Hari ini kita periksa kedokter aja," putus Ardhan. Tidak akan dia biarkan gadis itu menolak perintahnya. Mata Anindya membulat, dia tidak mau kerumah sakit karena bau khas obat obatan yang membuatnya takut.
"Gak per----," jujur dia tidak mau. Sangat berat hati untuk menerimanya. Anindya benar benar tidak ingin kerumah sakit. Entah apa yang dia takutkan, tapi untuk saat ini dia hanya ingin menenangkan pikirannya dulu. Sepertinya beban pikiran juga yang membuatnya seperti ini, namun enggan jujur pada Ardhan. Memangnya kalau Anindya berkata demikian, Ardhan akan peduli terhadapnya? Jangan terlalu berharap!
"Gak terima penolakan, suka tidak suka kita tetap kedokter!" Ardhan memilih merebahkan tubuhnya kekasur lagi. Dia memperhatikan punggung kecil milik istrinya yang bergetar. Biarlah, untuk saat ini dia menjadi orang yang egois. Toh, ini juga demi kebaikan istrinya. Eh, kenapa jadi peduli sama gadis kampung itu sih?!
"Sekarang tidur lagi, nanti kamu kelelahan," meski pelan, Anindya masih mendengarnya.
Mereka berdua melanjutkan tidurnya. Berharap ada kabar baik untuk mereka berdua setelah pulang dari rumah sakit.
°°°
Disepanjang lorong koridor rumah sakit, Anindya terus mengekori Ardhan dari belakang. Ingin rasanya jalan berdampingan dengan suaminya, tapi apa daya dia tidak berani untuk melakukannya. Dia hanya tidak ingin suaminya marah, lagipula dia tau diri siapa dia bagi Ardhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
DESTINY [COMPLETED]
SpiritualNote : setelah membaca cerita ini, silahkan ambil sisi baiknya saja! Sekuat apapun menjauh, kalau memang sudah takdir maka akan bertemu kembali. Katanya, ucapan seseorang yang sedang mabuk adalah jawaban terjujur. Begitu juga yang dialami oleh Ardha...