Hargai penulisnya dengan memberi vote dan komentar. Jika tidak ingin berkomentar, berikan vote. Jangan jadi pembaca gelap.
Selamat membaca♡
°°°
Kedua pasangan itu sedang berjalan kaki untuk pulang kerumah. Mereka habis membeli kue-kue tradisional yang biasa Anindya beli. Cukup memakan waktu untuk sampai kerumah, apalagi mereka jalan kaki.
Tadi sempat Tito menawarkan untuk naik motornya saja, namun Anindya menolaknya. Ia bilang ingin jalan-jalan sore bersama Ardhan. Mau tidak mau Ardhan harus menurutinya. Jarang juga ia berjalan kaki seperti ini selain melakukan jogging.
Tangan besarnya memegang tangan mungil istrinya. Menatap lurus jalanan, pandangan Anindya tidak henti hentinya menatap area sekitar. Jujur saja ia merindukannya, biasanya dirinya selalu lewat sini jika pulang sekolah atau mau kepasar.
Saat berjalan, Anindya menghentikan langkahnya saat ada seseorang yang memanggil namanya. Wanita itu sempat diam ditempat dan mengernyit bingung, terlihat dari dahinya yang mengerut.
"Anindya," sapa seseorang dengan senyum mengembang. Lalu ia turun dari motor dan menghampiri Anindya yang masih diam ditempat.
Genggaman Ardhan terlepas begitu saja saat seseorang memeluk istrinya. Ia membiarkannya, mungkin ia mengenal istrinya.
"Kamu apa kabar, Anin?" Tanyanya lagi.
Lamunan Anindya buyar. Ia kembali memandang seseorang yang sudah ada dihadapannya. Ia merasa seperti mimpi, bangunkan dirinya jika ini mimpi.
Seseorang yang tengah menatapnya dengan senyum mengembang pun memeluknya. Ia adalah Mira. Sahabatnya saat SMP. Mira tidak melanjutkan kesekolah SMA, karena memang ia dijodohkan oleh orang tuanya dengan pemuda yang lebih tua dan lebih jauh umurnya dengan Mira.
Masih ingatkah ucapan Anindya saat Ardhan untuk menawarkan kuliah dulu? Ya, Anindya memang berucap jujur. Di kampung Anindya memang banyak sekali yang sudah menikah meski umurnya masih pada belia. Mungkin, karena faktor ekonomi juga yang membuat mereka menikahkan anaknya saja, tanpa memikirkan pendidikan anaknya.
"Ya ampun Mira, kamu apa kabar?" Tanya Anindya dengan bahagia.
Lalu arah pandang Anindya beralih pada sosok pria yang sudah disamping Mira. Ia bisa menduganya, bahwa itu suaminya Mira.
Merasa paham dengan arah pandang Anindya, Mira pun akhirnya berbicara. "Ini suami aku, Nin. Ini mas Heru." Heru hanya menyunggingkan senyum mesumnya, membuat Anindya bergidik ngeri. Ardhan yang melihatnya pun hanya datar. Padahal dalam hatinya ingin sekali berteriak, ada rasa tidak rela saat Anindya memandang lelaki selain dirinya.
Anindya pun membalas senyumannya itu dengan sangat tipis, mungkin hanya dirinya yang menyadarinya. Sebagai bentuk menghargai saja. "Saya Anin, teman SMP nya Mira." Tak lama Anindya menoleh dan mendapati suaminya yang tengah menatap suami Mira dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Mira ini suamiku, bang Ardhan." Ujar Anindya.
Mira tersenyum lalu mengangguk sekilas. "Saya Mira, sahabatnya Anin waktu SMP." Ucap Mira sambil mengelus perutnya yang mulai membuncit, Anindya pun ikut beralih pada perut buncit milik Mira. Ah, rupanya temannya itu sedang mengandung juga. Terlihat dari usia kandungannya sudah tahap akhir. "Anak keberapa, Mir?" Tanya Anindya yang ikut mengelus perut milik temannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DESTINY [COMPLETED]
SpiritualNote : setelah membaca cerita ini, silahkan ambil sisi baiknya saja! Sekuat apapun menjauh, kalau memang sudah takdir maka akan bertemu kembali. Katanya, ucapan seseorang yang sedang mabuk adalah jawaban terjujur. Begitu juga yang dialami oleh Ardha...