Hargai penulisnya dengan memberi vote dan komentar. Jika tidak ingin berkomentar, berikan vote. Jangan jadi pembaca gelap.
Selamat membaca♡
°°°
Sehabis shalat di mushola yang ada dirumah sakit, kini Ardhan kembali melangkahkan kakinya menuju ruang operasi. Disana sudah ada ayah dan bundanya. Terdengar suara isakan juga, ia sudah bisa menebaknya kalau itu suara Rena.
Merasa ada yang datang, Rena mengurai pelukan dari sang suami, Damar. Wanita yang tak lagi muda itu mendekati sang anak untuk meminta penjelasan pada anaknya. Sudah berulang kali dirinya memperingati anaknya itu untuk tetap menjaga menantunya, apalagi dalam keadaan yang sedang mengandung.
"Jelaskan pada bunda kenapa ini bisa terjadi, Ardhan?!" Desak Rena. Damar selaku suaminya pun hanya bisa menenangkan istrinya yang sedang terbawa emosi. Punggungnya ia elus untuk memberikan ketenangan pada istrinya.
"Tenang, Bun," ucap Damar.
Namun ucapan itu tidak Rena hiraukan. Ia masih terfocus pada anaknya yang ingin menjelaskan kejadian sebenarnya.
"Jelaskan, Ardhan!"
Ardhan terkejut mendengar bentakan dari sang Bunda. Ia sendiri pun masih tidak sanggup untuk mengingat kilasan pahit itu. Ia harus bisa menelan pil pahit itu secara nyata. Tak bisa mengelak kembali.
"Seminggu yang lalu aku memang pergi keluar kota untuk urus pekerjaan di Bali dan Bandung. Aku kira hanya seminggu disana, tapi ternyata dua minggu karena ada kendala sedikit dalam pembangunan di Bandung. Saat aku dalam perjalanan pulang, Anin tiba-tiba telpon lalu menyuruhku untuk pulang. Aku hanya mendengar suara rintihan, setelah itu...." pria itu tidak sanggup menjelaskannya secara detail. Batinnya tak kuat saat harus mengungkapkan kalimat yang istrinya ucapkan tadi lewat sambungan telpon.
Rena terisak di pelukan Damar. Pria itu selaku ayahnya memahami keadaan anaknya. Tidak ada yang harus disalahkan, ini berlalu begitu cepat.
Kedatangan mereka berdua memang Ardhan yang menelponnya tadi. Ia tidak akan sanggup menghadapi keadaan ini sendirian tanpa kedua orang tua disisinya.
Bagaimana dengan kedua orang tua Anindya? Apakah sudah mengetahuinya?
Tentu saja belum. Namun, baru saja ingin memberi tahu, Damar sudah lebih dulu mengabari Tito bahwa anaknya akan segera melahirkan. Tentu saja membuat Wulan dan Tito bingung, mengingat usia kandungan anaknya baru jalan 8 bulan."Tidak usah dilanjutkan," Bukan Rena yang berkata seperti itu, tapi Damar. Padahal Ardhan mengharapkan kalau bundanya yang bilang. Ia kira ayahnya akan marah, bahkan ia sudah siap pasang badan untuk menerima bogeman dari sang ayah. Sakit dari pukulan memang tidak ada nilainya dibanding sakit dari batinnya.
"Sudah bunda bilang jaga istrimu. Kenapa kamu lalai dalam menjaganya?" Lirih Rena.
Suasananya menjadi lebih mencekam, sehabis shalat tadi sudah membuat hatinya menjadi lebih tenang dari sebelumnya. Kini bayang-bayang istrinya saat menjalankan aktivitasnya sebagai ibu rumah tangga yang selalu melayani suaminya dengan baik pun terlihat jelas. Ardhan tidak akan sanggup bila harus berpisah dengan istrinya! Tidak!
Menyesal pun tak ada gunanya. Sudah terjadi juga. Pria itu hanya menundukan kepalanya. Biasanya istrinya yang selalu memegang dagunya untuk menatap matanya kalau sedang merasa bersalah, lalu bilang seperti ini 'jangan merasa bersalah gitu. Masa calon ayah nangis'.
KAMU SEDANG MEMBACA
DESTINY [COMPLETED]
SpiritualNote : setelah membaca cerita ini, silahkan ambil sisi baiknya saja! Sekuat apapun menjauh, kalau memang sudah takdir maka akan bertemu kembali. Katanya, ucapan seseorang yang sedang mabuk adalah jawaban terjujur. Begitu juga yang dialami oleh Ardha...