Sebelum baca, tinggalkan jejak kalian dengan memberi vote dan komentar.
Selamat membaca♡
°°°
"Apa Bang Ardhan mencintai Anin?" Tanya ulang Anindya.
"Cinta? Kita aja baru ketemu lagi setelah enam tahun kemudian. Saya harus menerima perjodahan ini mau tidak mau, karena saya gak bisa nolak. Bunda sangat menginginkan kamu untuk menjadi istri saya, kalau seorang ibu sudah meminta seperti itu saya harus apa?"
Anindya mengerti. Sangat mengerti. Mungkin, Ardhan terpaksa menerima perjodohan ini. Apalagi mengingat status keluarga Anindya yang sangat jauh dengan Ardhan.
"Bang Ardhan kenapa gak bilang ke Tante Rena kalau memang abang udah punya pacar di Jakarta,"
Laki-laki itu menaikkan satu alisnya bingung, ia mencoba mencerna baik-baik ucapan Anindya. "Pacar? Gak ada. Saya masih ingat betul perkataan ayah saya yang menyuruh saya untuk menjauhi perempuan diluar sana, dan beliau berniat mengusir saya kalau saya memang melanggarnya." Anindya mengelus punggung tangannya, ia merasa tidak enak kalau begini. Perasaan bersalah menghampirinya.
"Maaf, kalau Anin buat Bang Ardhan seperti ini. Masih ada waktu untuk menolak perjodohan ini kalau Abang mau," Anindya menatap cincin lamaran yang tersemat dijari manisnya. Baru beberapa jam yang lalu ia bertunangan.
Ardhan menengok kearah gadis itu, ia mencoba untuk menyusun kata-kata yang tepat untuk diucapkan agar tidak menyinggung perasaan Anindya. Lama-lama ia tidak tega melihat gadis ini, memang benar perkataan Bundanya kalau gadis ini mempunyai hati yang begitu baik.
Ardhan menggeleng, meski masih terdapat keraguan. "Saya gak mau buat kedua orang tua saya kecewa. Saya bisa aja kabur dan pergi begitu saja tanpa kesini, dan sekarang saya meminta ke Bapakmu untuk melamar kamu. Urusan cinta saya gak tau menahu, biarkan jalan semestinya." Anindya mengangguk.
"Bagaimana dengan kamu? Umurmu masih 19 tahun kan? Kenapa kamu mau menerima perjodohan ini?" Kini Ardhan yang bertanya pada Anindya.
Hembusan angin yang kencang menerpa rambutnya dan menutupi sebagian wajahnya. Gadis itu memang benar-benar cantik, lalu jarinya menyelipkan helaian rambut kebelakang telinganya. "Aku emang baru 19 tahun, aku gak ada alasan untuk menolak perjodohan ini. Ayah dan Ibu yang sudah memilihkan calon suami untukku pastinya yang terbaik, jadi kupikir tidak ada yang salah tentang perjodohan ini. Aku ingin menikah sekali seumur hidup, kita gak akan ketemu lagi kalau memang bukan takdir. Tapi, setelah lamanya berpisah, sekarang kita bertemu lagi dan akan menjadi sepasang suami-istri. Jadi, kupikir bukankah ini takdir yang sudah mempertemukan kita bertemu kembali?"
Bagaimana bisa gadis berumur 19 tahun berpikiran sampai kesana? Ardhan yang sudah berumur 25 tahun saja tidak kesana pikirannya. Ardha tidak menyangkal perkataan gadis itu, mungkinkah Anindya sebagai takdirnya?
"Apa kamu gak mau melanjutkan kuliah seperti orang-orang?"
Anindya tersenyum sambil menggeleng. "Dikampungku anak tamatan SMA aja sudah syukur alhamdulillah, Bang. Kebanyakan dari teman-temanku yang hanya tamatan SMP aja."
Lagi dan lagi Ardhan terdiam. Mulut ini seakan terbungkam dengan rasa syukur gadis itu. "Saya bisa membiayai kamu kuliah, bagaimana?" Tawar Ardhan.
Anindya menggeleng, bukan menolaknya. Tapi, ia rasa cukup untuk SMA aja. Ia hanya ingin menjadi istri dan ibu yang baik untuk anaknya kelak. "Makasih abang untuk tawarannya, tapi, aku rasa tidak perlu. Aku hanya ingin menjadi istri yang baik untuk abang dan menjadi ibu dari anak-anak kita nanti." Jawab Anindya.
Ada perasaan lega yang Ardhan rasakan. Entah apa alasannya, tapi ia bahagia saja.
"Ayo, pulang, saya capek mau istirahat. Ayah baru saja mengabari saya kalau besok kita ke Jakarta." Anindya berdiri dan diikuti dengan Ardhan.
Kini, belanjaan dari pasar tadi sudah berpindah alih pada Ardhan. Sedangkan Anindya hanya memegang plastik berisi jajanan pasar tadi.
°°°
"Assalamualaikum," ucap mereka berdua dengan bersamaan.
Ardhan dan Anindya mencium punggung tangan orang tua itu secara bergantian.
"Waalaikumsalam,"
"Dapet semua bahan-bahannya, Nak?" Tanya Wulan. Anindya mengangguk, "dapet ibuku sayang,"
Rena tersenyum melihat interaksi anak dan ibu itu. Ah, rasanya ia tidak sabar untuk menjadikan Anindya menantu. Selain Sherly, selaku istri Kelvin, kini, akan ada menantu baru yaitu Anindya.
"Ini apa, Anin?" Tanya Rena yang melihat Anindya menata kue-kue itu didalam piring. "Jajanan pasar, Tante. Silahkan dicoba, Tan. Ini salah satu favorit Anin kalau lagi kepasar sama ibu," cerita Anindya.
Merasa penasaran dengan makanan yang ada didepan matanya, kini Rena beralih mengambil dadar gulung dan mulai mencicipinya. "Wah... rasanya gak kalah enak sama kue yang lainnya, Nin," Anindya mengangguk, syukur kalau Tante Rena menyukainya.
Sedangkan Ardhan hanya mendengus sebal. Dia seperti nyamuk saat ini, kemudian ia mengambil ponselnya dan berdiri pamit untuk duduk diteras rumah. Sepertinya, cuacanya tidak terlalu panas dan mendung, pas untuk duduk diluar untuk menghirup udara segar.
Ardhan menyetel musik dengan memasangkan earphone ditelinganya, tak sengaja saat punggung tangannya terasa gatal ia menggaruknya pelan, tapi, ia melihat cincin lamarannya dijari manisnya. Dia baru mengingat, beberapa jam yang lalu ia sudah melamar seseorang yang akan menjadi istrinya. Huft.... pasti setelah ini dia tidak akan bisa pulang malam lagi hanya sekedar bersenang-senang bersama temannya. Perlahan matanya mulai mengantuk saat mendengar alunan itu mengalun indah ditelinganya.
Posisinya duduk dan kedua tangannya dilipat didepan dada. Angin sepoi-sepoi sangat mendukung saat ini, sepertinya Ardhan memang benar-benar kelelahan. Karena semalem dia pulang larut malam dan ditambah paginya kerumah Om Tito yang jarak rumahnya cukup memakan waktu yang sangat lama.
°°°
KAMU SEDANG MEMBACA
DESTINY [COMPLETED]
EspiritualNote : setelah membaca cerita ini, silahkan ambil sisi baiknya saja! Sekuat apapun menjauh, kalau memang sudah takdir maka akan bertemu kembali. Katanya, ucapan seseorang yang sedang mabuk adalah jawaban terjujur. Begitu juga yang dialami oleh Ardha...