Hargai penulisnya dengan memberi vote dan komentar. Jika tidak ingin berkomentar, berikan vote. Jangan jadi pembaca gelap.
Selamat membaca♡
°°°
Pagi hari mereka berdua benar-benar pergi kerumah mertua Ardhan. Membutuhkan waktu yang lama untuk sampai kerumah.
Seperti saat ini, didalam mobil dengan suasana yang ditemani radio dalam mobil membuat suasana tidak menjadi hening.
Senyum diwajah Anindya terpancar jelas, sungguh ia senang sekali saat suaminya mengajak kerumahnya. Ada angin apa tiba-tiba mengajaknya pulang? Entahlah, yang jelas kesempatan ini jarang terjadi.
"Abang mau makan dulu?" Tanya Anindya yang masih menatap jalan raya.
Mereka berdua sama sama memakai pakaian santai. Ardhan yang hanya memakai baju kaos dilapisi hoodie berwarna coklat, sedangkan Anindya memakai baju dress selutut berwarna hijau dengan dilapisi cardigan rajutnya berwarna hitam.
"Boleh, kamu jadi bawa bekalnya, Dek?"
Tentu saja Anindya mengangguk. "Bawa abang," ia menoleh kebelakang lalu mengambil tas kecil berisi bekal yang sudah ia bawa dari apartemen.
Niat awal memang ingin makan diapartemen saja, tapi saat Anindya mau menuangkan makanannya kedalam piring membuat dirinya mual. Alhasil Ardhan yang mengalah dan memilihnya untuk dibawa bekal saja, sewaktu waktu kalau dijalan lapar bisa makan.
"Aku suapin ya, Bang," Anindya mengarahkan sendok yang sudah berisi nasi goreng dan telur dadar kemulut Ardhan.
Pria itu yang sedang menyetir menolehkan sebentar kearah samping untuk menerima suapan dari istrinya. "Kamu gak makan, Dek?"
"Nunggu abang makan," jawab Anindya.
"Makan berdua aja, ayo adek makan juga." Anindya menurut. Ia menyuapi dirinya sendiri, lalu kembali menyuapi suaminya yang masih menyetir.
Hingga satu suapan lagi untuk suaminya. "Kamu bawa susu dan vitaminnya kan, Dek?" Tanya Ardhan. Ia ingin memastikan kalau istrinya itu tidak lupa membawa kebutuhan yang peting.
Semenjak hamil, Anindya dibuat kelimpungan dengan perubahan sikap suaminya yang mulai peduli terhadapnya. Ia merasa diperhatikan dan dianggap ada. Padahal kalau di ingat kembali, sewaktu ia kecil mana mau Ardhan berbicara dengannya, menatapnya saja sepertinya tidak sudi.
"Bawa abang," Ardhan manggut manggut.
Sebelah tangan kirinya Ardhan memegang tangan kanan istrinya. Anindya yang merasa dipegang tangannya oleh suaminya merasa canggung. Ini seperti mimpi baginya.
"Kamu cantik, Dek," puji Ardhan.
Anindya menoleh. "Abang gombal! Fokus aja nyetir," elak Anindya. Tangannya yang sebelah mengelus perutnya yang sudah membuncit. Terlihat jelas dari baju yang dipakai oleh Anindya, maka dari itu ia melapisi lagi dengan cardigan rajutnya.
"Kok merah sih mukanya, Dek?" Goda Ardhan. Pria itu menahan tawanya agar tidak meledak, mungkin menggoda istrinya adalah salah satu kesukaannya mulai sekarang.
"Abang mulai deh," gerutu Anindya. Ini salah satu kelemahannya kalau berada didekat Ardhan, ia tidak bisa marah walau ia tau kalau suaminya sedang menjahilinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DESTINY [COMPLETED]
SpiritualNote : setelah membaca cerita ini, silahkan ambil sisi baiknya saja! Sekuat apapun menjauh, kalau memang sudah takdir maka akan bertemu kembali. Katanya, ucapan seseorang yang sedang mabuk adalah jawaban terjujur. Begitu juga yang dialami oleh Ardha...