Hargai penulisnya dengan memberi vote dan komentar. Jika tidak ingin berkomentar, berikan vote. Jangan jadi pembaca gelap.
Selamat membaca♡
°°°
Anindya mengamati hujan yang turun begitu deras dari arah sebelah kanannya. Hujan adalah salah satu kesukaannya, saat ia setiap pulang sekolah kalau sedang jalan kaki pasti main hujan. Ia membiarkan baju seragamnya basah dan tanpa mau berteduh dahulu, ia langsung menerobos hujan begitu saja.
Sepertinya mengguyur tubuhnya dengan derasnya hujan sangat menyenangkan. Perlahan ia mulai keluar dari gubuk itu, dan ia berjingrak senang saat hujan membasahi tubuhnya.
Pria itu yang sebagai suaminya sontak saja kaget, ia melihat sendiri istrinya menerobos hujan yang sangat deras sekali. Ia melangkahkan kakinya untuk menuju istrinya, saat ingin menariknya kembali, tiba-tiba tangan kecil itu mencegahnya.
Ardhan menaikan satu alisnya, pertanda ia tidak mengerti kemauan istrinya. "KAMU APA APAAN SIH?! NGAPAIN MANDI HUJAN? NANTI KALAU SAKIT BAGAIMANA?" Bentak Ardhan.
Argh!
Sedari tadi Ardhan menahan omongannya agar tidak menyakiti istrinya, namun apa? Sudah terjadi. Mau menyesal pun juga sudah terlambat, nasi sudah jadi bubur. Dengan frustasi Ardhan menjabak rambutnya.
"Izinkan aku main hujan kali ini, bang." Jawab Anindya dengan keras. Guyuran hujan itu membuatnya harus berteriak lebih keras agar Ardhan mendengarnya.
Langkahnya kesana kemari dengan begitu bahagia. Ia menapaki tanah dengan alas sendal jepit, lalu berlari sambil sesekali berteriak. Anindya begitu menyukainya.
Namun Anindya merasakan tangannya ditarik, lagi-lagi ia melepas cekalan itu.
"Ayo ke gubuk lagi," perintah Ardhan.
Sebuah gelengan dari wanita itu membuat Ardhan menahan sabar. "Gak mau, aku mau disini,"
"Apa yang sedang kamu lakukan? Kamu sedang mengandung anakku, kamu lupa?!"
Anakku?
Bukankah ini anak Anindya juga? Lalu mengapa Ardhan bilang kalau itu anak Ardhan saja? Tidak bisakkah ia membahagiakan istrinya dengan cara yang sederhana? Tanpa uang sedikit pun.
"Aku ibunya!"
"Aku ayahnya!"
Mereka sama-sama diam. Tidak ada yang berani menatapnya. Mereka sedang dilanda emosi. Tidak memikirkan untuk kedepannya saat mengucapkan hal yang tidak-tidak.
"Kamu mengingkari janjimu!" Ucap Anindya dengan keras.
Tangan Ardhan terkepal kuat. "Siapa yang mengingkari? Aku? Lalu kamu tidak pernah berpikir kalau kamu juga melakukan kesalahan? Pikir!" Jawab Ardhan dengan keras juga.
Mereka saling tarik urat saat ngomong, rasanya hujan kali ini turun dengan deras dan sangat berbeda. Biasanya ia menikmati, kali ini menyakiti.
"Aku salah? Coba sebutkan kesalahanku!" Anindya menatap tajam pada suaminya, seakan ada permusuhan dari tatapan itu. Entah dari mana keberanian itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
DESTINY [COMPLETED]
SpiritualNote : setelah membaca cerita ini, silahkan ambil sisi baiknya saja! Sekuat apapun menjauh, kalau memang sudah takdir maka akan bertemu kembali. Katanya, ucapan seseorang yang sedang mabuk adalah jawaban terjujur. Begitu juga yang dialami oleh Ardha...