26 | Sadar Diri

15.7K 829 3
                                    

Hargai penulisnya dengan memberi vote dan komentar. Jika tidak ingin berkomentar, berikan vote. Jangan jadi pembaca gelap.

Selamat membaca♡

°°°

Dering ponsel yang terletak disaku celana Ardhan berbunyi. Ia melihat siapa yang menelfonnya, kemudian memencet tombol hijau untuk menerima panggilan.

"Assalamualaikum, Bu," sapa Ardhan.

Ternyata yang menelfon itu mertuanya--- Wulan.

"Waalaikumsalam. Nak, ibu mengganggu tidak?"

Ardhan menyugar rambutnya lalu mengambil nafasnya pelan. "Ah enggak, bu. Ada apa?"

"Bagaimana kondisi kalian?"

Pria itu menaikkan satu alisnya. Ikut bingung. Tumben sekali ibunya ini bertanya kabar pada dirinya, biasanya ia selalu bertanya dan menelfon langsung pada istrinya.

"Baik bu, kalian juga baik kan, bu?" Basa-basi Ardhan. Ia menggaruk pipinya yang tiba-tiba gatal.

"Kami baik disini. Boleh ibu tanya sesuatu, Nak?"

Atmosfer diruangan ini kembali memanas. Baru saja ia mendapat kabar bahwa istrinya mengalami pendarahan, ia langsung ditanya oleh mertuanya.

"Tentu," meski tidak mantap saat menjawabnya. Maafkan Ardhan, bu. Batinnya.

"Anin baik kan kondisinya? Ibu punya firasat gak enak,"

Seketika mulutnya menjadi kaku untuk menjawabnya, harus dengan apa menjawabnya?

"Sebenarnya anin baru saja pendarahan, bu," jujur Ardhan.

Ia melirik sekilas melihat istrinya yang masih menutup matanya. Luka yang bekas pecahan cangkir tadi sudah diobati juga oleh dokter Wina.

"Astagfirullah, kenapa bisa pendarahan, Nak?" Tanya Wulan yang terdengar panik.

"Anin kelelahan, bu. Maaf... Ardhan gak bisa jaga Anin," akunya dengan jujur.

"Kamu harus ekstra menjaga anin itu artinya. Ingat ini anak pertama kalian, jadi masih rawan dan belum ada pengalaman."

"Oh iya bu, maaf ya waktu itu kami gak sempat kerumah, waktu itu ada pekerjaan mendadak." Jelas Ardhan. Padahal dalam hati pria itu ingin sekali mengucapkan beribu maaf pada ibunya.

"Ndak papa, Nak. Ibu paham, waktu itu ada pria juga yang datang kerumah dan membawa barang kalian dengan membawa mobilmu."

"Ah iya dia Leo. Orang suruhanku, Bu."

"Ya sudah... ibu tutup ya telponnya. Salam untuk anin, kamu jaga kesehatan. Assalamualaikum,"

"Waalaikumsalam,"

Klik

Ardhan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ia menyesalinya, begitu teledor saat menjaga istrinya.

Ia melangkahkan kakinya untuk duduk dibalkon. Dengan rokok yang sudah ia sesap dalam-dalam hingga mengeluarkan asap. Pelariannya kalau tidak rokok, ya mabuk.

DESTINY [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang