Hargai penulisnya dengan memberi vote dan komentar. Jika tidak ingin berkomentar, berikan vote. Jangan jadi pembaca gelap.
Selamat membaca♡
°°°
Terdengar suara riuh dari arah teras rumah. Ibu dua anak itu yang sedang berada di dapur pun langsung menghampiri seseorang yang sedang menangis.
Seketika pandangan Anindya langsung tertuju pada kedua anak itu dengan tatapan khawatir.
"Hiks... hiks... abang ini pasti sakit kan?" Tanya Adiba dengan sesegukan.
Melihat adiknya menangis dihadapannya membuat Arshad terdiam. Bocah perempuan berusia 13 tahun itu menangisi abangnya yang selalu pulang bawa luka. Ya, Arshad sudah menjadi remaja yang berusia 18 tahun, ia sudah berada dikelas 3 SMA. Sementara Adiba sudah kelas 1 SMP. Waktu terasa sangat sekali, bukan?
Adiba masih menangis saat melihat wajah lebam abangnya. Ia terlalu menyayangi Arshad, hingga dirinya bisa merasakan sakit pada bagian luka di wajah Arshad.
"Astagfirullah, abang kenapa? Kok lebam gini mukanya?" Tanya Anindya dengan raut wajah khawatir.
Mendengar bundanya bertanya, membuat dirinya ingin menjawab. Tapi, sebelum menjawab, Arshad menghapus air mata adiknya yang masih berada dihadapannya. "Jangan nangis. Anak cantik gak boleh nangis." Kekeh Arshad.
Adiba mengerucutkan mulutnya, ia kesal dengan abangnya. Sebagai adik tentu saja sangat menyayangi abangnya yang selalu menjaganya sepenuh hati.
Sikap Arshad terhadap Adiba memang sangat overprotektif sekali. Abangnya ini bentuk wujud kedua dari ayahnya. Sama percis sekali.
"Abang bilang gak akan berantem lagi, abang nakal!" Cetus Adiba.
Anindya memeluk anak keduanya. Adiba memang mempunyai sikap yang sama seperti Anindya. Lebih sabar dan lembut. Maka dari itu, bocah itu hatinya mudah tersentuh. Seperti ini contohnya.
"Stttt... jangan nangis. Nanti kita obati abang sama-sama ya," saran Anindya.
Melihat adiknya yang masih tersegukan membuat Arshad merasa bersalah. Bukan ini yang pria itu inginkan. Alasan wajahnya menjadi lebam, karena ada masalah kecil disekolah yang mengusik hidupnya.
Arshad memegang sebelah tangan adiknya yang terbebas dari pelukan sang bunda. Ia mencium tangan itu dengan sepenuh hati. "Adek mau dengerin abang, kan?"
Tanpa sadar Adiba mengangguk. Ia menyetujuinya. "M-mau,"
"Abang gak papa. Abang kan kuat, sama seperti ayah. Luka ini gak ada sakitnya, hal yang wajar untuk anak laki-laki. Sudah ya, jangan nangis lagi. Wajah adek gak boleh ada air mata, cuma ada bibir melengkung keatas membentuk senyuman. Janji, ya?" Ucap Arshad. Pria ini memang pandai dalam membujuk sang adik.
Adiba memeluk tubuh besar milik Arshad. "Adiba sayang sama abang. Adiba takut lihat abang begini terus kalau pulang sekolah. Teman abang nakal, ya? Sini adiba bilangin ke ayah, biar mereka di pukul. Gak boleh ada yang mukul abangnya adiba. Titik!"
KAMU SEDANG MEMBACA
DESTINY [COMPLETED]
SpiritualNote : setelah membaca cerita ini, silahkan ambil sisi baiknya saja! Sekuat apapun menjauh, kalau memang sudah takdir maka akan bertemu kembali. Katanya, ucapan seseorang yang sedang mabuk adalah jawaban terjujur. Begitu juga yang dialami oleh Ardha...