Hargai penulisnya dengan memberi vote dan komentar. Jika tidak ingin berkomentar, berikan vote. Jangan jadi pembaca gelap.
Selamat membaca♡
°°°
Ardhan memang tidak main-main dengan ucapannya, ia benar-benar buat istrinya tidak berdaya dikasur. Seperti saat ini, pagi hari dengan silau matahari mulai menyelinap lewat gorden yang sedikit tersingkap.
Didalam kamar Ardhan masih enggan untuk beranjak dari kasur. Sepertinya melihat objek dihadapannya itu sungguh menarik dan sangat disayangkan bila dilewatkan. Ia sungguh tidak rela membagi kecantikan istrinya pada orang lain, meski hanya sedikit dan itu juga hanya lewat senyuman.
Semenjak hubungan mereka kembali membaik, ia benar-benar berjanji pada dirinya sendiri bahwa istrinya itu hanya miliknya seorang. Tidak akan ada yang boleh menyentuhnya barang seinci pun. Ia tidak akan segan-segan membunuh orang itu.
Tubuh berisi milik istrinya itu sangat menggoda apalagi dengan perut yang mulai membesar. Tangannya ia ulurkan untuk mengelus si buah hati. Setiap ia mengelus perut istrinya, hatinya selalu seperti ada kembang apinya. Selalu meletup letup didalam, mungkin saking bahagianya.
Usia kandungannya sudah mulai menginjak enam bulan. Buah hatinya selalu menjawab pertanyaannya dengan berupa tendangan.
"Selamat pagi anak ayah, kamu baik kan didalam sana? Kita harus bisa jagain bunda, ya." Ucap Ardhan pada buah hatinya.
Jawaban berupa tendangan lagi yang ia rasakan. Ardhan menampilkan senyum baiknya.
Merasa terganggu dengan tendangan dari dalam perutnya hingga menimbulkan suara ringisan. "Shhhh... sakit, bang," ucap Anindya seraya mengelus perutnya. Wanita itu sudah membuka matanya, entah sejak kapan yang jelas Ardhan tidak menyadarinya.
Melihat rintihan dari bibir manis istrinya, tentu Ardhan tidak tega. Akhirnya, ia sedikit berbisik pada anaknya. "Nendangnya jangan kuat-kuat ya, sayang. Bunda kesakitan,"
Ajaib.
Rasa sakit yang dirasakan Anindya tidak sakit lagi. Ia melirik kearah suaminya yang bertelanjang dada. Sama halnya dengan dirinya. Buru-buru ia menutupinya dengan selimut yang sempat melorot.
Tapi, tangan kekar itu mencegahnya. Seolah dari tatapannya itu menolak untuk ditutup. "Malu," cicit Anindya.
Wajahnya sudah merah padam, ia terus merutukinya yang selalu salah tingkah didepan suaminya. Sedangkan Ardhan hanya terkekeh.
"Gak perlu malu sama abang. Aku sudah melihat semuanya," ucap Ardhan dengan gamblang. Tanpa sadar Ardhan sudah kembali menggunakan aku-kamu lagi.
Anindya? Sudah malu tentunya.
Ingin rasanya ia mengumpat, tapi takut dosa.
Kedua tangan Anindya digenggam kuat oleh Ardhan. Kian hari perasaan Ardhan makin bertambah untuk gadis kecil yang kini menjadi istri sahnya. Rasa bahagianya ini sungguh membuatnya mati rasa hingga tanpa sadar sikap tempramentalnya ini sudah mulai jarang terlihat.
"A-aku," ucap Anindya menggantung. Dahi Ardhan mengernyit seolah menunggu kelanjutan ucapan istrinya. "Aku apa, sayang?" Desak Ardhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
DESTINY [COMPLETED]
SpiritualNote : setelah membaca cerita ini, silahkan ambil sisi baiknya saja! Sekuat apapun menjauh, kalau memang sudah takdir maka akan bertemu kembali. Katanya, ucapan seseorang yang sedang mabuk adalah jawaban terjujur. Begitu juga yang dialami oleh Ardha...