Hargai penulisnya dengan memberi vote dan komentar. Jika tidak ingin berkomentar, berikan vote. Jangan jadi pembaca gelap.
Selamat membaca♡
°°°
"Eunghh," suara lenguhan seseorang membuat Ardhan membuka matanya. Perlahan mata indah itu terbuka lebar dengan bingung saat melihat suasana yang sangat ia kenal.
Ya, mereka berdua sudah sampai di apartemen semalam. Pagi ini wanita itu baru bangun, dan ia merasa pergerakannya terkunci saat seseorang memeluknya dengan erat. Kemudian ia menunduk sedikit agar bisa melihat apa yang menimpa dipinggangnya.
Ternyata itu lengan suaminya. Lagi dan lagi Anindya merasa ini seperti mimpi. Suaminya kembali seperti semula. Dingin dan kejam. Tidak ada kelembutan yang ia rasakan.
"Sttt... tidurlah, kamu lelah sayang," ujar Ardhan seraya membetulkan rambut istrinya yang menutupi sebagian wajahnya. Dengan kasar ia membalikan tubuh ringkih istrinya agar menghadap dirinya.
Tanpa terasa ia kembali meneteskan air matanya yang sudah menggenang disudut matanya. Dadanya ikut terasa sesak, kepalanya juga ikut sakit. Mungkin ini efek terlalu stress. Wanita itu harus bisa menjaga kandungannya agar tetap sehat, meski kesehatan mental dirinya sedang tidak baik.
"Jangan menangis, matamu terlalu indah untuk mengeluarkan air mata," ucap Ardhan seraya mengusap air mata disudut mata istrinya.
"Kamu yang buat aku seperti ini, bang." Batin Anindya.
"Mulai sekarang kamu gak boleh keluar kamar. Kalau kamu mencoba untuk kabur dari sini, kamu akan tau akibatnya!" Ancam Ardhan dengan tatapan yang penuh mengintimidasi.
Wanita itu hanya diam. Mana sanggup ia membantah perkataan suaminya. Ia terlalu cinta hingga ia tidak mampu membantahnya walau hanya sepatah kata. Ia terlalu lemah, ia menyesal. Karena cintanya itu yang membuatnya seperti ini.
Merasakan pergerakan dari atas kepalanya saat melihat ternyata suaminya yang sedang mengelus kepalanya. Ia bingung mengapa suaminya menjadi seperti ini, apa penyebab berubahnya sikap suaminya ini?
"Kalau aku ngomong, jawab! Jangan diam saja, kamu punya mulut, kan?! Apa kamu udah gak bisa ngomong karena udah ketahuan kalau pria yang dikampung itu ketahuan sama saya, iya?!" Tuduh Ardhan.
Anindya diam. Ia hanya bisa mendengarnya dengan rasa lapang dada. "Jawab, Anin!" Bentak Ardhan hingga membuat Anindya tersentak kaget.
Wajah pucat pasinya terlihat sangat jelas. Ardhan tidak menampik bila ia juga mengkhawatirkan keadaan istrinya. Perlahan ia mendekat, lalu mengelus pipi sang istri.
"Hei... mengapa menangis," tanya Ardhan dengan wajahnya yang seperti orang bodoh.
Ini aneh.
Baru beberapa menit ia membentaknya dan menuduhnya secara asal, sekarang ia mulai melembut pada dirinya?
Hanya suara isakan yang Anindya lakukan, Ardhan mengambil minum yang ada diatas meja nakas samping kasur lalu memberinya pada Anindya. "Minum dulu," perintah Ardhan.
"Saya pergi dulu, kamu tunggu disini. Ingat jangan keluar karena saya akan menguncinya dari luar!"
Anindya bernapas lega, akhirnya suaminya itu bisa pergi. Bukan durhaka pada suami, namun untuk saat ini mungkin kesendirian membuat ia menjadi tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
DESTINY [COMPLETED]
SpiritualNote : setelah membaca cerita ini, silahkan ambil sisi baiknya saja! Sekuat apapun menjauh, kalau memang sudah takdir maka akan bertemu kembali. Katanya, ucapan seseorang yang sedang mabuk adalah jawaban terjujur. Begitu juga yang dialami oleh Ardha...