25 | Pendarahan

15K 797 2
                                    

Hargai penulisnya dengan memberi vote dan komentar. Jika tidak ingin berkomentar, berikan vote. Jangan jadi pembaca gelap.

Selamat membaca♡

°°°

Anindya melangkah keruang tamu dengan tertatih. Ia tidak bisa menyangkal, ia sangat tersiksa saat melihat suaminya yang terlihat urakan seperti saat ini. Ardhan terlihat beda sekali, ia terlihat lebih menyeramkan untuk saat ini.

Ia jadi teringat saat Ardhan sedang memarahi dirinya saat masih kecil. Tanpa sadar ia menitihkan air matanya, dengan bantuan tangannya untuk membekap mulutnya.

Flashback on

Anindya menghampiri Ardhan yang sedang bermain dihalaman belakang rumahnya. Bola basket yang sedang dimainkan oleh pria itu membuat gadis kecil itu memandangnya.

"Abang," cicit Anindya.

Ardhan memutar bola matanya malas. Ia mendengus sebal saat berada disamping gadis kecil itu. Padahal teman-teman Ardhan selalu bilang kalau gadis kecil itu cantik dan menggemaskan. Ardhan, sebagai laki-laki memang tidak menyangkalnya kalau gadis kampung itu terlihat cantik.

Bahkan teman-temannya selalu menggoda dirinya kalau Anindya selalu mengikutinya terus menerus hingga dirinya dibuat jengah.

Dengan kesal, Ardhan sengaja melempar bola basketnya kearah gadis itu. Anindya hanya menutup matanya saat bola itu mengenai kepalanya. Meski sakit, ia hanya bisa mengusap-usap kepalanya dengan bantuan rambutnya. Percuma kalau dirinya nangis juga, Ardhan tidak akan peduli pada dirinya.

"Kamu bisa gak sih sehari aja gak ikutin aku? Aku mau sendiri, karena kamu aku diledekin sama temanku sendiri. Ah--- sial!" Ardhan mengumpat didepan Anindya.

Kedua jemari mungil itu ia tautkan satu sama lain. Dadanya naik turun karena saking takutnya. "M-maaf, abang,"

Anindya kira pemuda itu mau memeluk dirinya karena merasa bersalah. Tapi, ia salah. Tubuh kecil itu terjerembab kedasar lapangan luas yang ada halaman belakang itu.

Bukannya merasa bersalah, pemuda itu menampilkan senyum mengejek. Ia terlalu kesal dengan gadis kecil ini.

"Aduh sakit, abang," ringis Anindya.

Mata hitam pekat itu memandang sendu kearah pemuda itu. Anindya memang selalu bersama Ardhan saat ia main kejakarta. Bila ayah dan ibunya ke jakarta, pasti selalu berkunjung kerumah ayah Damar--- ayah Ardhan.

Ardhan melangkah maju untuk mendekati gadis itu. "Sakit? Ini belum seberapa, gadis kecil."

Hiks

Hiks

Hiks

Sudah ia duga. Anindya menangis. Rambut yang tergerai begitu saja bertebaran kemana-mana saat angin menghalau begitu kencang. Sebagian wajahnya tertutupi rambut.

"Bisa tidak gak pakai nangis? Jangan cengeng. Bagaimana nanti kalau kamu sudah besar dan dijahati sama orang lain?!"

Anindya mengusap air matanya lalu mengelap ingusnya dengan baju Ardhan. Pemuda itu sudah masa bodoh dengan bajunya yang sudah kotor dengan ingus gadis tersebut.

DESTINY [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang