Hargai penulisnya dengan memberi vote dan komentar. Jika tidak ingin berkomentar, berikan vote. Jangan jadi pembaca gelap.
Selamat membaca♡
°°°
Malam harinya keluarga Tito sedang melaksanakan makan malam. Lauk yang dimasak Wulan sudah tersedia ada tumis kangkung, ayam goreng, tempe-tahu goreng dan tak lupa sambal terasi. Meski hanya lauk sederhana, bila dimakan bersama orang tersayang pasti jauh nikmat.
Sama halnya dengan Ardhan, semenjak dirinya menikah dengan Anindya, ia jadi suka makan. Mungkin berat badannya bertambah dan Ardhan tidak mempermasalahkannya. Ia selalu rutin olahraga gym disaat waktu luang.
Berbeda dengan Anindya, ia yang sedang mengunyah pun kembali memuntahkan makanannya. Perutnya bergejolak seperti ada yang ingin dikeluarkan.
Wanita itu membekap mulutnya, namun ia sudah tidak tahan dan akhirnya ia pergi kekamar mandi. Orang tua Anindya pun menatap kepergian anaknya yang buru buru kearah kamar mandi. Ardhan yang sedang makan pun ikut menghampiri istrinya.
"Huek.... huek..." Anindya terus memuntahkan isi perutnya. Yang keluar hanya cairan bening saja. Ini sudah biasa baginya, mungkin gejala ini yang membuat dirinya jadi susah makan. Ardhan mengurut tengkuk bagian belakang istrinya. Setelah dirasa sudah tidak mual Ardhan bertanya, "sudah?"
Anindya mengangguk. "Sudah," pria itu memapah istrinya, ia yakin istrinya itu lemas setelah muntah tadi.
Saat keluar dari kamar mandi, pasangan suami istri itu terlonjak kaget saat melihat kedua orang tuanya berdiri didepan kamar mandi. Wulan menghampiri anaknya, raut wajah yang cemas mendominasinya. "Kamu gak papa, nak?" Tanya Wulan panik.
Senyum tipis Anindya yang berhasil ditampilkan wajahnya. "Gak papa, bu," jawab Anindya.
"Bu... buatkan teh hangat aja buat Anin," usul Tito. Wulan pun mengangguk, lalu pergi kedapur untuk membuatkan teh hangat untuk anaknya.
Mereka kembali duduk diruang tamu yang beralas tiker anyaman. Mereka semua kembali makan yang sempat tertunda tadi, begitu juga dengan Wulan yang sudah memberikan teh hangat pada putrinya. "Diminum, nak, mumpung masih anget,"
Pelan pelan Anindya meminum teh hangat itu terlihat dari asap yang masih mengepul dari dalam gelas kaca tersebut. Ardhan melirik sekilas kearah istirnya, perasaan panik yang saat ini ia rasakan.
Selesai makan, Anindya membantu Wulan untuk mencuci piring. Wulan sempat menolak, namun melihat kekehan dari sang anak membuatnya mengizinkannya.
°°°
Sama halnya dengan Ardhan yang sedang duduk diteras bersama Tito. Ditemani kopi hitam yang masih panas, sedangkan Ardhan meminum teh hangatnya.
"Gimana kerjaan disana, Dhan? Lancar?" Tanya Tito.
Udara dimalam kali ini sangat sejuk sekali, meski Ardhan sering keluar malam. Entah mengapa saat berada disini udaranya lebih menyejukkan dan membuatnya menjadi tenang.
"Alhamdulillah, Yah. Lancar," jawabnya dengan senyum tipis.
Tito memandang langit yang sudah gelap, banyak bintang diatas langit membuatnya ingin terus menatapnya. "Gak nyangka ya, kamu jadi menantu ayah. Bentar lagi kamu jadi seorang ayah, dan ayah akan jadi seorang kakek. Waktu begitu cepat berlalu," Tito mulai bercerita, ia mengingat kembali ingatannya yang masih teringat jelas didalam otak.
KAMU SEDANG MEMBACA
DESTINY [COMPLETED]
SpiritualNote : setelah membaca cerita ini, silahkan ambil sisi baiknya saja! Sekuat apapun menjauh, kalau memang sudah takdir maka akan bertemu kembali. Katanya, ucapan seseorang yang sedang mabuk adalah jawaban terjujur. Begitu juga yang dialami oleh Ardha...