CHAPTER 19

1.1K 82 4
                                    

Ruangan ballroom itu terlihat sangat megah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ruangan ballroom itu terlihat sangat megah. Beberapa pilar besar berdiri di seluruh penjuru ruangan. Dan sudah selama lima menit Giselle tidak berhenti menatap dua sejoli yang kebetulan juga duduk di meja yang sama dengannya.

"Jangan lihat pacar gue seperti itu," tegur Samuel saat Giselle tak berhenti memberikan tatapan membunuh pada mereka.

"Lin." Dan Giselle tak menghiraukan Samuel. Tatapannya hanya tertuju pada Selene yang sedari tadi masih terdiam. "Gue kan udah pernah cerita sama lo kalau manusia di samping lo itu jelmaan buaya darat."

"Ouch." Samuel pura-pura merasa tersakiti. "Gue tersinggung lho, Gi."

Giselle langsung memberikan tatapan tak pedulinya pada manusia gila itu. "Lin. Habis gini lo harus cerita sama gue. Gimana bisaㅡ"

"Sel." Ryan mencegah istrinya untuk mengomel lagi. Dia menoleh ke Giselle lalu menggeleng kecil. "Adik kamu pasti sudah cukup dewasa untuk mengambil suatu keputusan di hidupnya." Dia melirik Selene yang juga menatapnya datar.

Tatapan Ryan sekarang tertuju pada jari-jari Samuel yang mulai mengusap bahu polos wanita itu pelan. Dan perasaan tanpa nama itu kini timbul lagi. Jauh lebih besar dari sebelumnya.

Ketika Lucas mendekati Selene, Ryan sungguh merasa tidak nyaman. Ada gemuruh aneh yang mampu menciptakan sebuah perasaan aneh di hatinya. Dia menatap Selene yang juga tengah menatapnya datar. Ryan langsung membuang muka, lalu mengembuskan napas pendek.

Seorang wanita cantik tiba-tiba datang dan ikut bergabung di meja tersebut. Giselle langsung tersenyum sopan dan menyapa wanita cantik itu. "Selamat ya, Alanza. Kak Daniel memang selalu hebat." Alanzaㅡwanita cantik berwajah kalem ituㅡikut tersenyum, mengucapkan terima kasih kepada Giselle.

Lalu tiba-tiba Max yang memang sedang tidak bersama mereka datang dalam keadaan menangis. Giselle langsung terkejut dan membawa anaknya ke atas pangkuan. "Max kenapa?"

Max masih menangis. Wajahnya mulai memerah dan bibirnya bergetar. Dia menunjuk seorang bocah yang kira-kira berada lima meter yang terlihat sedikit lebih dewasa darinya. "Max didorong sama dia," ucapnya sambil masih menangis.

Semua orang di meja langsung menoleh pada arah telunjuk Max. Dan Alanza langsung terkesiap. "Maaf-maaf. Anak aku membuat anak kamu menangis."

Alanza langsung bangkit, membawa seorang bocah lelaki yang menjadi dalang Max menangis ke meja tersebut. "Nevan kenapa mendorong Max?" tanya Alanza lembut. Dia menatap anak keduanya yang sekarang tengah cemberut dengan mulut tetekuk.

"Dia." Nevan menunjuk Max lagi. Lalu tatapannya terarah pada seorang bocah perempuan yang kira-kira berusia Max yang juga tengah menatapnya sambil mengerjap-ngerjap. "Dia mencium Nessa!" Mendapati mata Nevan yang mendelik lebar dengan wajah merah kesalnya, Alanza hampir saja tertawa, tapi dia langsung menahannya.

"Nevan marah karena Max mencium Nessa?" tanyanya lagi.

Nevan mengangguk, masih sangat emosi dan sangat kesal karena seorang bocah tiba-tiba mencium adiknya begitu saja. "Tapi apa mendorong itu adalah hal yang baik?" Alanza mulai mengamati ekspresi Nevan lama. "Nessa dan Max seumuran. Kalau misalnya Nevan melakukan hal itu ke Nessa, apa hal itu baik?"

Meaning of YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang