◆ Chapter 43 ✔

3.8K 504 226
                                    

Termangu dalam diam di depan pintu kamar putranya, Kim Seokjin yang berniat memanggil Yoongi untuk mengajaknya makan malam bersama, justru tidak punya cukup nyali untuk mengetuk pintu kamar itu. Hati sang dokter masih selalu perih bagai tersayat-sayat setiap kali melihat mata sendu Min Yoongi yang basah dengan air mata.

Kendati tidak ada satu orang pun yang menyalahkannya atas kejadian di musim gugur lalu, nurani Seokjin masih senantiasa merasa bersalah. Sebab duka mendalam yang begitu nyata masih terpancar di setiap mata orang-orang terdekatnya. Termasuk Min Yoongi, yang selalu tenggelam dalam duka dengan hati yang ikut membeku bersama sang kekasih yang kini terbujur kaku di dalam sebuah tabung berbentuk kapsul yang diletakkan di dalam kamar itu.

Rasanya masih begitu nyata, segala hal yang terjadi di meja operasinya malam itu masih terngiang-ngiang dalam benak Seokjin. Detak jantung putranya yang berhenti, tangisan dan juga raungan, pertengkarannya dengan sang suami, dan juga tentang sebuah keputusan tanpa kepastian yang ia ambil tanpa berpikir panjang.

Semuanya masih begitu jelas, nyata, menyayat hati Kim Seokjin di setiap harinya.

.

.

.

“Dokter, jantung pasien berhenti berdetak!”

Seokjin yang tengah sibuk menangani pendarahan setelah peluru yang bersarang di tubuh Jimin berhasil dikeluarkan, menoleh cepat ke arah pendeteksi detak jantung yang terpasang di dekat kepala ranjang. Matanya membelalak, tangannya bergetar dan hatinya mencelus melihat garis lurus terbentang pada layar hologram itu.

“Tidak!! Jimin!!” serunya. Seokjin yang hampir saja jatuh tersungkur karena kedua lututnya yang melemas, berusaha menguatkan diri. Menopang tubuhnya agar tetap berdiri kokoh, dokter manis itu bergerak cepat untuk menolong putranya, walau ia tahu harapan yang tersisa sangat lah kecil.

Alat pemicu detak jantung itu ditempelkan pada dada Jimin, membuat tubuhnya berguncang menerima arus listrik. Seokjin menunggunya dengan cemas, lantas kembali menempelkan alat itu saat tidak mendapatkan hasil yang di harapkan.

Suara nyaring dari pendeteksi detak jantung masih berdenging tanpa putus. Sementara para robot bekerja tanpa suara. Hingga hanya helaan napas penuh kepanikan Seokjin bersama suara gerakan tangan-tangan logam yang terdengar di dalam ruangan itu. Begitu mencekam dan menyesakkan bagi sang dokter.

Seokjin terus berusaha untuk mengembalikan detak jantung Jimin. Pemicu detak jantung itu berkali-kali ditempelkan di dadanya dan membuat tubuh mungil yang di penuhi luka itu terus terguncang. Namun, sampai pada batas pemakaian alatnya, detak jantung Jimin yang tidak kunjung kembali.

Tangis Seokjin pecah. Para robot medis memundurkan langkahnya ketika pasien tidak menunjukkan adanya kehidupan.

Mendekat dengan langkah tertatih, Seokjin menumpukan tangan gemetarnya di atas dada Jimin. Memompa jantungnya dengan cara manual. Ia masih belum mau menyerah.

“Jimin sayang! Papa mohon, nak. Kembalilah, kembalilah sayang,” lirihnya dengan air mata terburai membasahi kedua pipinya.

“Jimin kembalilah. Bagaimana papa harus menghadapi daddy dan kekasihmu jika kau seperti ini, hum?” Isakan Seokjin semakin pilu. “Jimin, papa mohon. Kali ini saja, hentikan kenakalanmu itu. Jadilah anak baik dan kembali pada kami!!”

Masih terus memompa jantung putranya, Seokjin membiarkan air matanya berjatuhan di atas tubuh mungil Jimin. “Aku mohon! Aku mohon kembalikan putraku. Jimin adalah putraku, kalian tidak bisa mengambilnya!!” pekik Seokjin. “Aku mohon, Hwan-ie eomma, Hwan-ie appa, jangan bawa putraku bersama kalian. Aku mohon.. Aku mohon...” Seokjin mengiba, memohon pada semesta, memohon pada kedua orang tua kandung Jimin.

Sweet Temptation | YOONMIN • ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang