◆ Chapter 14 ✔

5.3K 625 70
                                    

Tidak jauh berbeda dari kamar utama yang didominasi dengan warna hitam. Ruang tengah rumah megah itu pun didominasi dengan warna yang sama. Terdapat corak-corak unik yang menjalar di sepanjang dinding hitamnya, lukisan-lukisan abstrak terpajang mempesona dan memanjakan mata. Lalu karpet bulu tebal berwarna abu-abu terpasang di sekitar satu set sofa hitam yang berjejer di dekat jendela dengan tirai hitam itu, menambah kenyamanan bagi siapa pun yang hendak menghabiskan waktu di sana.

Di atas sofa single itu Namjoon tengah duduk sambil memandangi suami dan putranya yang kini duduk berhadapan di atas sofa panjang. Memerhatikan bagaimana Seokjin tengah menyuntikkan jarumnya pada lengan Jimin, memberi putra mereka obat yang ia katakan sebagai obat penunda kehamilan.

“Jimin-ah, kenapa hanya diam? Kenapa tidak bertanya tentang obat apa yang disuntikkan papamu?” tanya Namjoon saat Seokjin kini menempelkan kapas berisi alkohol pada bekas suntikannya.

Kedua sudut bibir plum itu mengembang sempurna, matanya menyipit memancarkan ketulusan. Untuk orang tuanya. “Kenapa harus bertanya, dad? Aku percaya pada papa dan daddy. Apapun yang kalian berikan padaku, itu adalah yang terbaik. Iya kan?”

Seokjin terenyak ketika mendengar penuturan putranya. Ia merasa bersalah karena tidak mempercayai Jimin yang justru sangat mempercayainya. “Maafkan papa, Jimin-ah,” gumam Seokjin, kepalanya tertunduk dengan isakan samar terdengar cukup jelas di telinga putranya.

Jimin terkesiap. Ia menunduk untuk mengintip wajah sang papa. “Papa menangis? Mengapa? Apa Jimin telah berbuat nakal? Apa Jimin membuat papa kecewa? Maaf papa. Maafkan Jimin ...”

Jimin tidak dapat meneruskan ucapannya karena Seokjin tiba-tiba memeluknya dengan begitu erat. Dengan perasaan bingung si manis lantas membalas pelukan itu.

“Papa?” lirih Jimin dengan jantung berdegup kencang, takut jika ia telah melakukan hal yang membuat papanya kecewa.

“Tidak, Jimin kami tidak nakal. Jimin kami adalah anak baik. Papa menangis karena rindu Jimin, rindu sekali,” ucap Seokjin.

“Hum, haruskah aku ikut kalian pulang saja?” tanya Jimin.

“Tidak!”

Bukan Seokjin ataupun Namjoon yang menjawab. Tapi pria pucat yang baru saja memasuki ruang tengah dengan setelan jas berwarna abu-abu yang membalut apik tubuhnya.

“Kau tidak bisa pulang seenaknya. Kau pikir aku mau menyiapkan pernikahan ini sendiri. Merepotkan tahu!” omel Yoongi sambil mendudukkan dirinya di sofa single yang ada seberang Namjoon.

“Tapi yang menyiapkan pernikahan adalah anak buahmu, sayang. Kau tinggal tunjuk saja,” oceh Jimin sambil mengerutkan keningnya.

“Diam kau! Aku bilang tidak ya tidak. Kalau kau  pulang maka rac—

“Jimin, tidak sayang. Sebentar lagi kau akan menikah. Jadi tinggallah di sini, hum? Papa dan daddy akan sering berkunjung,” sela Seokjin sebelum Yoongi mengungkapkan alasan sebenarnya mereka menikah, membuat pria pucat itu tersenyum puas.

Namjoon hanya menggeleng jengah melihat drama rumah tangga di depan matanya. “Son, kemarilah. Daddy juga rindu Jimin,” ucap Namjoon sambil menepuk pahanya dan membuka lebar kedua tangannya.

Jimin baru saja akan naik ke pangkuan ayahnya, tetapi urung karena ucapan Yoongi menghentikannya.

“Jimin, apa yang aku katakan tadi pagi padamu?” tanya Yoongi.

Jimin merenggut. “Daddy, maaf. Aku bukan bayi, tidak boleh pangkuan. Tidak boleh kecupan,” gumam Jimin sambil menundukkan kepala.

Namjoon mendengus. Matanya menajam, menghunus mata Yoongi yang kini mengerling penuh kemenangan. Jimin lebih menurut padanya, dan itu membuat Min Yoongi sangat puas.

Sweet Temptation | YOONMIN • ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang