EPILOG

6.2K 420 275
                                    

BRUK!

"Yaa!! Jalan yang benar, bocah sial!" Seorang pria dengan langkah terburu yang baru saja menabrak salah satu bahu dari dua anak remaja berpakaian sekolah menengah atas itu mengumpat kesal. Lantas berjalan melewati kedua remaja itu sambil mengibas-ngibaskan pakaian lusuh berwarna abu-abu yang ia kenakan.

"Huh!" Remaja yang ditabrak bahunya menghela napas kasar. Lantas sebuah tepukan pelan ia dapatkan dari seseorang yang berdiri di hadapannya.

"Abaikan saja. Ayo!"

Ia mengangguk pelan. Keduanya lantas kembali memacu langkah di atas tanah lembap yang dipenuhi dengan sampah-sampah plastik. Membelah gang kecil yang menjadi jalan pintas menuju sekolah menengah atas, tempat di mana mereka seharusnya berada sekarang, kalau saja keduanya tidak pergi membolos.

"Tck!" Baru lima langkah berjalan, pemuda dengan surai yang sengaja dicat dengan warna abu-abu gelap itu berdecak pelan. Keduanya sontak berhenti melangkah dan saling menatap satu sama lain.

"Ada masalah?"

Ia mengangguk pelan. "Orang tadi itu pencopet. Dia mengambil dompetku."

"Huh! Padahal suasana hatiku sedang tidak bagus!" Remaja berkulit putih pucat itu mendengus. Keduanya baru saja kembali dari arena duel dan kehilangan cukup banyak uang sebab kalah bertarung. Dan sekarang, preman gang ini mencari masalah dengan keduanya.

"Hyung," yang lebih muda memanggil. Meminta persetujuan yang lebih tua untuk mengurus preman itu terlebih dahulu.

"Cepatlah. Kita harus kembali ke sekolah sebelum papa menjemput."

Mendapat persetujuan sang kakak, remaja dengan iris segelap malam itu segera berbalik. Ia berbelok di ujung gang, mengambil jalan yang lebih singkat untuk mengejar pencuri dompetnya.

Tak butuh waktu lama baginya untuk menyelesaikan apa yang harus ia selesaikan. Terbukti dalam waktu kurang dari sepuluh menit, keduanya kini sudah kembali berjalan di antara gang sempit itu menuju sekolah. Meninggalkan seorang pria paruh baya yang terkapar dengan luka menganga pada lehernya.

"Kenapa dibunuh? Kau hanya perlu mengambil dompetmu, kan?" tanya sang kakak sambil mengibaskan rambut hitamnya.

"Kalau kau jadi aku, kau pasti akan mencincangnya. Aku sudah memintanya baik-baik. Tapi dia malah mengatai aku asal tuduh. Dia bilang aku anak tidak tahu diri yang dilahirkan oleh seorang jalang. Sialan sekali mulutnya," adunya pada sang kakak.

Langkah remaja yang lebih tua terhenti. Ia hendak berbalik dan mencincang tubuh orang kurang ajar yang berani mengatai orang tuanya itu. Tetapi sang adik dengan sigap menghentikannya. Tahu benar akan reaksi sang kakak yang sangat posesif dan menyayangi papa mereka.

"Sudahlah, hyung! Dia sudah mati. Kita harus kembali sebelum papa menjemput. Karena aku tidak mau bicara dengan pisau milik papa."

"Tck! Brengsek! Harusnya kau robek mulutnya!"

"Aku sudah merobek lehernya. Jadi ayo!!"

Keduanya kembali berjalan. Sepasang mata setajam rubah milik sang kakak melirik ke arah almamater sang adik. Ia menghela napas mendapati setitik noda yang tertinggal di sana. "Yaa!! Buang almamater sekolahmu."

"Eoh?" Ia menunduk, menggapai ujung pakaiannya dan mendengus kesal. "Aish! Aku tidak menyadarinya," ocehnya. Kemudian lekas melepaskan almamater itu dan ia buang begitu saja di tempat sampah besar yang ada di samping gedung sekolah.

"Bersihkan semuanya!" titah si sulung pada seorang pria berpakaian serba hitam yang memang selalu berada di dekat mereka. Pengawal yang ditugaskan sang ayah untuk menjaga kedua anak kembarnya.

Sweet Temptation | YOONMIN • ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang