Raina merenung ia terdiam, ia melihat bayangan wajahnya di kaca dan memegang bibirnya tak percaya, setelah kejadian tadi Zevan tak mengatakan sepatah kata apapun kepadanya, seseolah hanya dia yang dibuat menggila. Setelah terdiam cukup lama di toilet, Raina mencuci tangan di wastafel kemudian beranjak keluar sebelum langkahnya terhrnti karena ada tubuh kekar yang menghadang.
Kepala Raina yang awalnya menunduk kini mendongak, memastikan seseorang yang menghadang jalannya.
Dia, Zevan.
Tatapanmya begitu dingin membuat Raina meneguk kalivanya takut, gadis itu berusaha lewat dari sisi kanan tapi tubuh Zevan menghadangnya, Raina menggeser langkahnya ke sisi kiri, dan lagi-lagi Zevan menghadangnya, hingga saatnya lelaki itu memajukan langkah membuat Raina melangkah mundur hingga tubuhnya terhempit dinding.
"Kㅡkenapa?" Raina menatap mata Zevan sekilas.
"Tentang tadi, lupakan."
Sialan, niat Raina memang ingin melupakan tapi bila Zevan menghimpitnya di dinding toilet menjadi kejadian itu terus terulang-ulang terlintas di ingatan Raina.
Raina mengangguk lalu mendorong dada bidang Zevan yang menghalangi jalan nya, ia harus cepat pergi dari keadaan ini bila tak ingin lelaki itu mendengar suara detak jantungnya.
"Raina!"
Raina menoleh ke arah sumber suara, suara itu sedikit menenangkan jantungnya, suara Bian.
"Dari toilet?"
Raina mengangguk. "Bian aku maㅡ"
Ucapan Raina terpotong seketika setelah netranya menangkap seseorang yang berada di belakang Bian.
"KAK RARA?!"
Bian tersenyum kemudian ia menarik pergelangan tangan Rara agar gadis itu berdiri di sampingnya.
"Gimana Rain?" tanya Bian dengan senyuman yang tidak bisa diartikan oleh Raina.
Rara tersenyum menyusul senyuman Bian. "Hai bocil, masih hidup?"
Raina menganga dramatis, otaknya yang dangkal benar-benar tidak bisa menjelaskan keadaan membingungkan ini.
"Ini beneran Kak Rara?!" Raina mencubit-cubit pipi Rara memeriksa bahwa perempuan yang berada di hadapannya adalah kakak kandungnya.
"Kau mau kuberi tinjuan dulu agar percaya?!" Rara mulai kesal.
"Fiks! Kak Rara!"
Setelah pertemuan yang tidak terduga, mereka meneruskan pembicaraan di cafe tempat Bara bekerja.
"Jadi kalian berteman?" Raina terheran-heran.
"Ya, dan kau pasti bertanya-tanya mengapa Bian si pendiam ini tiba-tiba baik padamu, alasannya adalah aku!" ujar Rara membanggakan diri.
Raina menoleh ke arah Bian lalu melemparkan tatapan tanda tanya tentah perkataan Rara tadi.
Bian terkekeh. "Ya benar, Rara yang menyuruhku baik kepadamu."
Itu mengecewakan.
Jawaban Bian benar-benar mengecewakan Raina, ia pikir selama ini dirinya spesial bagi Bian, tapi nyatanya tidak. Ternyata itu alasannya selama ini.
"Ah..." Raina mendesah kecewa namun tak lupa ia tersenyum paksa.
Rara menopang dagu dan memperhatikan wajah adik kandungnya. "Tapi ngomong-ngomong kau banyak berubah Rain."
Raina tertawa bangga. "Tentu saja lah!"
"Kau juga cukup berbakat menjadi model, ya meskipun kau tak secantik aku."
Raina melengos malas. "Kau cantik karena polesan make up yang tebal itu!"
"Kak hubungan ayah dan bunda baik-baik saja, kan?" Raina teringat akan tragedi saat ia bekerja di cafe Bara, ia harap dugaan tentang ayahnya selingkuh itu tidak benar.
"Mereka biasa saja, seperti biasanya. Memangnya kenapa?"
Raina menggeleng lega. "Ah tidak."
"Tapi bagaimana bisa kalian berteman?" Gadis itu mencoba mengalihkan topik.
"Aku sering menjadi cameraman untuk photoshoot Rara, lama kelamaan kita berteman."
Raina mengangguk paham, memang benar kakaknya sudah terjun di dunia model sejak smp mungkin ia sudah mengenal Bian lama. Di tengah keseruan obrolan Rara yang terus-menerus bercerita tentang sisi manja Raina kepada Bian, Bara datang ke meja mereka sembari membawa nampan yang berisi beberapa makanan dan minuman yang dipesan.
"Bara duduklah, tidak ada pelanggan, kan?!" Raina menujuk bangku di sampingnya, mengisyaratkan agar lelaki itu menemaninya di keadaan menyebalkan ini.
"Benar, kau juga harus berkenalan dengan kakak Raina." Bian menyetujui.
Mendengar itu Bara duduk di samping Raina dan tersenyum menjabat tangan Rara.
"Hai, aku Rara kakak Raina!" sapa Rara.
"Aku Bara, tetangganya."Rara mengangguk dan memperhatikan wajah Bara dengan jeli. "Wah kau sangat beruntung memiliki tetangga-tetangga yang tampan."
Raina mengibaskan rambutnya bangga. "Rejeki anak baik."
Rara menggeleng tak percaya. "Bian, Bara, kemudian Zevan si artis terkenal." Ia menghitung para lelaki tampan tetangga adiknya.
"Wah, mungkin di kehidupan sebelumnya kau adalah lalisa manoban!"
"Sampai di kehidupan sekarang aku juga tetap mirip dengan Lalisa manoban," ucap Raina narsis.
Bian dan Bara hanya tersenyum tak paham dengan pembicaraan kedua gadis di hadapan mereka. Namun tiba-tiba Raina menegakkan tubuhnya seseolah teringat akan sesuatu.
"Sebentar! Kak kau adalah penggemar Leon Davin, bukan?"
Mata Rara berbinar seketika mendengar nama Leon terucap.
"Ya! Kenapa?!""Leon Davin, dia tetanggaku juga!!"
"HAH?!" Rara terkejut dramatis. "Kㅡkau tidak bercanda, kan?!"
"Ya, itu benar Ra." saut Bian.
Rara terdiam beku ia menenangkan bulu kuduknya yang kini merinding.
"Bian, aku ingin bertemu dengannya!!""Kau suka Leon?" tanya Bian.
"Ya aku sangat menyukainya, dia keren!!"
Bian memasang wajah dingin tiba-tiba. "Tidak boleh."
"Kau terlalu baik untuk Leon."
.....
TBC.
KAMU SEDANG MEMBACA
Halo Tetangga!
Teen FictionRaina datang sebagai tetangga dari keempat lelaki tampan itu. Di apartemen tua, dimana terdapat empat lelaki yang berwujud layaknya seorang pangeran dingin itu mulai terusik dengan kehadiran seorang gadis lancang yang tiba-tiba muncul sebagai tetang...