40 | Kuntilanak dan Pernyataan Cinta

655 98 17
                                    

Tubuh Raina merinding parah, bulu kuduknya sedari tadi tidak bisa diajak berkompromi, dibalik selimut hangat dimana Raina bersembunyi dari rasa takut ia merutuki diri sendiri karena menonton film horor siang tadi, al hasil ia tidak bisa tidur tenang sekarang. Bahkan suara cicak terdengar sangat horor di telinganya sekarang, suara angin yang berhembus kencang semakin menambah aura menyeramkan, ditambah suara air galon berbunyi tiba-tiba membuat jantung Raina berdisko seketika.

Meskipun semua lampu sudah Raina nyalakan, semua itu tak membuat rasa takutnya berkurang, ia benar-benar haus sekarang, rasa dahaga di tengah malam ini harus ditahan. Namun gadis itu tidak bisa benar-benar menahan rasa hausnya.

Raina melangkah berjinjit pelan menuju ruang tamu, ia menoleh ke sekeliling dan nihil tidak ada siapapu, setelah menguatkan mental Raina melangkah ke arah kulkas dan mengambil botol air dingin lalu meneguknya.

Masih memuaskan rasa hausnya, tiba-tiba lampu ruang tamu Raina berkedip, gadis itu segera menghentikan aksi minumnya dan menutup kulkas. Indra pendengarannya yang tajam mendengar ada sesuatu di belakangnya, dengan terpaksa ia menoleh secara perlahan. Ia menoleh, dan...

Jlep.

"Akh!!!"

Gelap, itu yang ditangkap oleh netra Raina. Dengan tergesa-gesa gadis itu berlari untuk segera mencari pertolongan, karena apartemennya kini benar-benar gelap gulita, alhasil keningnya tertabrak pintu apartemen, ia meringis perih, untuk sejenak akhirnya ia kembali sadar dan segera membuka pintu.

"Toloㅡ"

Kaki Raina melemas, badannya terjatuh tepat di depan pintu apartemennya, bahkan setelah ia keluar dari apartemennya ia masih tetap berada di kegelapan, ternyata di sepanjang lorong juga sangat gelap, Raina hanya bisa terduduk dan memejamkan mata sambil bergumam meminta pertolongan.

Rasanya ia seperti menjadi tokoh utama di film horor yang ia lihat tadi.

Mata Raina terus terpejam, namun ia bisa merasakan bahwa ada sebuah cahaya yang membuat matanya silau, perlahan ia membuka mata dan pandangannya menjadi buram karena teresan air mata takut itu.

Sebuah tangan kanan kekar sudah mengulur ke arahnya, tangan kiri orang itu tetap diam memegang handphone yang digunakan sebagai senter, masih dengan detak jantung yang tidak beraturan Raina memberanikan diri menatap lelaki di hadapannya.

Zevan.

Dia, Zevan.

Senyuman Raina mengembang seketika, dengan cepat gadis itu meraih uluran tangan Zevan dan berdiri.

"Kau menangis? Berlebihan sekali." Zevan berdecih membuat Raina yang perasaannya masih tidak stabil dibuat geram.

Sepertinya lelaki itu kurang ilmu tentang menenangkan wanita.

"Sebenarnya apa yang sedang terjadi?" Raina cemas, ia meremas baju Zevan takut.

"Hanya pemadaman sementara."

Lalu terlihat Bara, Bian, dan Leon juga keluar dari apartemennya masing-masing. Bian berlari kecil menghampiri Raina dan memastikan keadaan gadis itu.

"Kau tak apa, Rain?"

Raina mengangguk, namun atensinya teralihkan pada benda yang Bian bawa. "Kenapa kau membawa kamera Bian?"

"Ah, ini. Siapa tahu ada penampakan, aku bisa memotretnya." Bian terkekeh, semua menggeleng tak percaya.

"Dan kau Leon, kenapa membawa tongkat bisbol?"

Leon mengayunkan tongkat bisbolnya bergaya. "Siapa tahu aku berjumpa dengan pocong, aku ingin mengajaknya bermain."

Raina menggeleng heran tak paham dengan isi kepala Leon.

"Dan kau, Bara? Kenapa membawa garam dan bawang putih? Kali ini kau mau adu memasak dengan kunti atau bagaimana?" Kali ini keheranan Raina menuju Bara.

Bara memperhatikan barang-barang yang ia bawa. "Tidak seperti itu. Aku dengar makhluk halus takut dengan garam dan bawang putih."

Leon memekik heran. "Benarkah? Bukankah yang takut dengan bawang putih itu vampir?"

Bara hanya mengerdikkan bahu tak tahu apakah informasi itu benar, sedangkan Raina hanya menganga tak percaya ternyata para lelaki tampan disini tidak ada yang waras.

"Ayo," ujar Zevan memimpin perjalanan karena hanya dia yang membawa senter.

Kelima manusia itu berjalan menelusuri lorong pelan-pelan, Raina masih berada di belakang Zevan berlindung dengan mencengkram kuat lengan lelaki itu.

"Sebentar sepertinya tidak hanya kita yang tinggal di lantai 3, tetapi kenapa lorong ini sangat sepi?" Leon heran, ia menggaruk kening menggunakan tongkat bisbol.

Bian memperhatikan sekitar.
"Benar sekali, mungkin sudah tidur?"

"Tapi Clara selalu bilang kalau ada pemadaman kita harus berkumpul." Bara menyaut.

"Iiii iii iiiii iii iiiii"

Langkah mereka terhenti seketika.

"Lㅡleon, itu suaramu, kan?! Jangan bercanda!!" Raina semakin mengeratkan pegangannya di lengan Zevan.

Leon memukul angin dengan tongkat bisbol mencoba waspada. "Tㅡtapi itu bukan suaraku."

"Aku... di belakangmu... iiii iiiii iiii."

Suara itu menusuk pendengaran mereka, rasa penasaran seseolah mengalahkan rasa takut. Terurama rasa penasaran Bian yang niatnya memang ingin memotret makhluk halus, perlahan mereka semua menoleh....

"Akh!!!!" Bukan, bukan Raina yang berteriak.

Leon lelaki itu menjerit keras setelah melihat hantu wanita dengan rambut sepanjang kaki yang mengedipkan mata ke arahnya, dengan seribu langkah Leon memanfaatkan bakat larinya dan lari menuruni anak tangga secepat mungkin meninggalkan teman-temannya yang masih terdiam beku.

Bara melemparkan garam dan bawang putih yang ia bawa secara bersamaan, namun kuntilanak itu tak kunjung pergi.

"Sialan, gak mempan anjing!" Bara lari terbirit-birit menyusul Leon.

Dan jangan ditanya sedang apa ketiga manusia yang masih terdiam disana.

Bian yang sibuk memotret mbak kunti, ia tak peduli seberapa menakutkannya wajah makhluk yang ada di hadapannya.

Raina yang tak berani membuka matanya dan semakin mengeratkan pelukannya di tubuh Zevan. Sedangkan lelaki yang dipeluk Raina, ia hanya terdiam kaku, entah karena terkejut dengan mbak kunti, atau terkejut dengan pelukan Raina.

"Kㅡkau, kenapa memelukku?" Zevan mencoba menenangkan jantungnya yang berdetak sangat kencang.

Masih dalam pelukan Zevan, Raina mendongak. "Karena aku takut lah, pakai nanya lagi!" Gadis itu mengeratkan pelukannya.

"Bukan karena kau menyukaiku?"

Rasanya Raina ingin menangis, bisa-bisanya Zevan bercanda di keadaan seperti ini.

"Kau bercanda?!"

"Tidak,"
"Kalau kau tidak menyukaiku, maka aku yang menyukaimu."

Nada bicara Zevan tiba-tiba serius, Bian yang sibuk memotret kini salah fokus dengan kedua manusia itu, sedangkan mbak kunti yang tadinya berasik diri berpose ia juga ikut salah fokus dan memilih menonton drama live di hadapannya.

Zevan membalas pelukan Raina kemudian mendekatkan bibirnya ke arah telinga gadis itu.

"Mulai hari ini, kau milikku."

Mata mbak kunti muncul tanda hati.
"Ah! Cocwit banget oppa!!"

.....

Bagaimana Bab ini??

TBC.

Halo Tetangga!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang