4 | Dia bahaya dan gila

1.9K 193 3
                                    

Hari ini hari minggu, yang seharusnya menjadi hari tenang bagi Zevan namun ketiga manusia ini merusak hari nya yang tenang.

"Wih gila uang nya banyak banget Bar!"

Bara tertawa. "Iya lah! Aku merawatnya seperti anak sendiri."

"Kalau begitu aku mau anakmu menjadi menantuku besok," celetuk Bian menanggapi.

Leon menoleh ke arah Bian. "Kau juga punya anak Bian?"

"Tentu! Yang berbulu hitam."

Leon ber Oh ria paham dengan maksud Bian.

"Coba lihat outfitnya seksi, kan?" Bara memperhatikan layar handphonenya ke Leon.

"Wah! Bara kau gila!!"

"Kalian benar-benar cabul." Bian mengelus dadanya melihat kelakuan temannya

Zevan geleng-geleng kepala melihat kelakuan ketiga temannya yang terlalu antusias dengan game.

"Aku tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi kekasihmu saat melihat kau bermain game konyol itu," ucap Zevan mulai berbicara.

"Kekasih? Sepertinya aku tidak punya." Leon mengingat-ingat.

"Aku berbicara dengan Bara." Leon menekuk wajahnya kesal.

Bian terkekeh. "Hahaha yang sabar ya macan!"

"Ini bukan game konyol Van! Apakah kau tidak tahu betapa serunya game ini?" jawab Bara membela diri dengan mata yang masih fokus dengan game nya.

"Iya aku tahu. Jadi, siapa nama kucingmu?" Zevan berdiri dari duduknya lalu mengambil handphonenya.

Dengan antusias Bian mendekat ke arah Zevan untuk melihat temannya bermain game.

Game yang amat disukai keempat pria ini, Talking angela.

"Kucing ku bernama Siska, kalau punyamu?" tanya Bara.

"Punya ku namanya Zeze," jawab Zevan membuat Leon memasang ekspresi wajahnya yang terlihat ngeri.

"Dih kalau begitu punyaku akan kunamakan Lele!" timpal Leon semangat.

Sedang seru bermain dengan kucing virtualnya masing-masing, bau hangus mulai terdeteksi oleh indra penciuman mereka.

"Eh kau belum mandi ya, Le?!"

"Sudah setan! Bau kentut Zevan ini pasti!" Leon mengalihkan tuduhan ke arah Zevan.

"Fitnah lebih kejam daripada pembunuhan," ucap Zevan yang masih fokus dengan Zeze, kucingnya.

"Mungkin Clara sedang bakar sampah," timpal Bian yang membuat semua temannya mengangguk setuju.

"Eh kalian ingat tetangga baru kita kemarin? Aku lupa namanya ." Leon mengingat-ingat.

"Hujan, namanya."

Setelah diingatkan Zevan, Leon tertawa setelahnya. "Oh iya hujan! Menurut kalian dia bagaimana?"

"Bahaya," tanggap Bara.

"Gila," tambah Zevan.

"Tapi baik hati," ujar Bian yang mengundang tatapan heran ketiga temannya.

Sedang tercengang dengan ucapan Bian, fokus mereka bubar karena suara teriakan dari apartemen sebelah.

"TOLONG!!!KEBAKARAN!!!!"

Keempat lelaki itu terkejut dan saling memperhatikan satu sama lain.

Kemudian Zevan menghela napas kesal. "Sudah kubilang kan, dia gila."

Dengan jurus kaki seribu, mereka lari dan membawa ember nya masing-masing dan segera masuk ke apartemen Raina.

Setelah masuk terlihat dengan jelas Raina tidak berusaha memadamkan api, namun ia justru berlari layaknya kepiting yang mencari pertolongan.

Bian menyiram airnya ke oven yang sudah hangus terbakar.

Leon menyiramkan airnya ke api yang merambat ke dinding.

Bara menyiramkan airnya pada api-api kecil yang masih belum padam.

Sedangkan Zevan menyiramkan air yang ia bawa ke wajah Raina.

Byur!

Api sudah padam, lalu keempat lelaki itu terdiam sembari memperhatikan kondisi Raina yang basah kuyup karena Zevan.

"Maaf, kau tak apa?"

"ZEVAN!!!" teriak Raina kesal.

Zevan melindungi gendang telinga kesayangannya dari teriakan maut Raina.

"Kenapa kau berteriak?!" tanya Zevan dengan nada suara yang menaik.

"Lalu kenapa kau melakukan itu?! Aku bukan api!"

"Kau memang bukan api, kau hujan."

"Jangan bercanda!"

"Aku tidak bercanda, tadi ada api di topi koki yang terlihat sangat berlebihan itu."

"Seharusnya kau berterimakasih karena aku menyelamatkan rambutmu." Zevan mengambil embernya lalu beranjak keluar dari dapur setelah membuat Raina merasa tidak enak padanya.

"Kau memang tidak tahu terima kasih," kata Bara semakin membuat Raina merasa bersalah.

Raina berlari dari dapur lalu menutup pintu apartemennya tepat sebelum Zevan keluar.

"Berhenti, jangan pulang dulu."

Alis Zevan mengernyit.
"Apa lagi sekarang?"

"Maaf karena aku terlalu berlebihan tadi," lirih Raina.

"Tidak dimaafkan."

Raina menatap manik mata Zevan yang tajam.

"Tapi kebakaran tadi itu karena aku membuat kue untuk kalian, jadi aku mau kalian mencobanya dulu."

"Tidak berminat,"
"Minggir."

Raina merentangkan tangannya menghalangi Zevan.
"Tidak! Kalau kalian tidak mencoba kuenya aku akan terus mengganggu kalian!"

Zevan menyunggingkan bibirnya. "Ganggu saja, aku tak akan merasa terganggu."

"Kau menantangku? Asal kau tau aku ini paling ahli dalam mengganggu orang lain!"

Zevan melangkah maju ke arah Raina membuat gadis itu terhimpit ke dinding, perlahan Zevan mendekatkan wajahnya ke Raina dan menatap dalam manik mata Raina.

"Ya aku menantangmu, mari kita lihat seberapa lama kau akan bertahan disini."

"Baiklah! Siapa takut!"

"Kau berkata seseolah siap berperang tapi kenapa kau tak berani menatapku?"

Raina mengambil napas, memberanikan mentalnya untuk menatap mata Zevan yang tajam. Jujur ia takut, dan jujur sekarang menatap lantai lebih membuatnya tenang daripada menatap wajah tampannya yang mematikan.

"Tatap aku, hujan."

....

TBC.

Halo Tetangga!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang