Hari ini Asakita tengah berduka, siang hari dimana mentari menyinari bumi, salah seorang dari kami pergi untuk menghadap sang kuasa illahi.
Pak Tomo menghembuskan nafas terakhirnya di apartemen Asakita hari ini.
Diketahui oleh bu Gita yang memang sudah terbiasa mengunjungi pak Tomo untuk memberi makan siang, dan perempuan paruh baya itu mendapati bahwa pak Tomo sudah terbaring tak bernafas di kasurnya, sendiri. Bu Gita ingat jelas alasan pak Tomo lebih memilih tinggal di Asakita daripada tinggal di atap yang sama bersama para anak-anaknya, kata beliau ia tak ingin menyusahkan anak-anak kesayangannya dengan pak Tomo yang sudah lansia dan pastinya merepotkan. Meskipun terlihat humoris, beliau sangat memberikan kasih sayang lebih kepada orang-orang yang lebih muda di sekitarnya, ia anggap sebagai anak sendiri. Yang paling dekat dengan pak Tomo adalah bu Gita yang umurnya setara dengan anak sulungnya.
Mengingat bu Gita memiliki ingatan lebih dengan pak Tomo, ia tak bisa menghentikan derasnya air mata. Bahkan ia terlihat lebih sedih daripada anak kandung pak Tomo sendiri, pasalnya lelaki tua itu pernah berkeinginan untuk melakukan ibadah haji tapi takut untuk meminta biaya pada sang anak, dan bu Gita bekerja sebagai pembantu rumah tangga apartemen lainnnya dan menabung sedikit demi sedikit untuk mencari biaya haji pak Tomo.
Namun pak Tomo pergi sebelum bu Gita bisa memenuhi keinginan terakhirnya.
"Yang sabar Bu Gita, kita berdoa saja agar semua amal ibadah pak Tomo diterima di sisi-Nya."
Clara menepuk pelan menengkan bahu Bu Gita yang naik turun karena tangis. Bu Gita sendiri tak bisa mengatakan apapun selain menangis, kini seluruh penghuni Asakita berkumpul sembari memakai pakaian serba hitam.
Para lelaki juga sudah tiba di Asakita setelah proses pemakaman dan bergabung untuk berduka bersama yang lainnya.
"Aku tidak kenal pak Tomo lebih dekat tapi aku merasa sedih." Raina menekuk bibirnya menahan tangis karena merasa kasihan melihat bu Gita.
"Aku juga terkejut kenapa Tuhan mengambil pak Tomo secara mendadak," tambah gadis itu merasa tak percaya.
"Kau pikir malaikat pencabut nyawa harus memberi pemberitahuan dulu sebelum mencabut nyawa?" saut Nara kesal.
Leon terkekeh lalu menepuk bahu Raina pelan. "Kau harus segera bertobat Rain, siapa tahu giliranmu besok?"
Plak!
Raina menampar mulut kurang ajar Leon, membuat lelaki itu meringis memegangi mulutnya. Kemudian mata gadis itu tertarik pada Bian yang tengah sibuk menelpon Rara, mungkin sedang mengabari berita duka ini, Raina sangat heran kenapa lelaki itu terlihat seperti kecanduan saat berbicara dengan kakaknya, toh ia pikir ia lebih seru menjadi teman bicara daripada Rara. Ekspresi wajah Raina yang tidak suka bila Bian lebih senang berbicara dengan Rara itu terlihat dengan jelas, Bara, Leon, dan Zevan melihat dengan jelas mimik wajah gadis itu dan memeriksa penyebab yang membuatnya menekuk wajah.
Bian menyelesaikan panggilan telponnya, berjalan santai menuju deretan kursi yang diduduki teman-temannya, lalu membuka tutup botol air mineral dan memberikannya kepada Raina. Sedangkan gadis yang disodorkan air putih itu terdiam kaget, ia terdiam lama dan akhirnya tangan kanannya terangkat untuk segera meraih air mineral tersebut.
Sebelum tangan Raina benar-benar meraih botolnya, Bara lebih dulu menyaut air mineral yang Bian berikan dan meneguknya cepat.
Bara mengusap bibir. "Terimakasih."
Bian menghela nafas kesal, lalu membuka satu botol lagi untuk Raina, untuk kedua kalinya sebelum Raina meraih air putih itu, kali ini airnya diambil alih oleh Leon.
Leon mengangkat kepala dan tersenyum. "Thanks!" Ia meneguknya hingga habis.
Bian semakin dibuat makan hati karena perbuatan teman-temannya yang membuat geram, lalu untuk ketiga kalinya ia membuka tutup botol air mineral lagi. Namun sedikit berbeda dari alur yang sebelumnya, kini sebelum Bian menyodorkan botolnya ke arah Raina, Zevan memberikan sebotol air mineral untuk gadis itu. Otomatis dengan perasaan kecewa, Bian meminum air yang sebenarnya untuk Raina ia minum untuk dirinya sendiri.
Bian duduk di bangku samping Nara yang sibuk berkutat dengan handphonenya, Bara menatap keempat temannya yang pemikirannya tidak bisa ia baca, ia benar-benar heran.
"Bara," panggil Nara memecah keheningan.
Yang dipanggil menoleh. "Ya?"
Gadis berambut pendek itu menunjukkan layar handphonenya ke arah Bara, semua orang di meja itu ikut tertarik dan melihat.
"Bukankah ini tunanganmu?"
Di layar handphone Nara terlihat dengan jelas lapak media sosial Laura yang tengah membagikan foto mesra bersama orang asing yang terlihat seperti bule.
Bara hanya tersenyum. "Ya benar."
"Dan dia mencium lelaki lain?" Leon ikut penasaran.
"Apa salahnya?"
Raina menganga heran karena jawaban Bara. "Hey, tapi dia tunanganmu."
"Iya hanya status, tapi kita tidak saling suka, jadi tak apa?" Bara beragumen.
Alis Bian mengernyit. "Maksudmu?"
"Maksudku kita bertunangan karena dipaksa."
Nara memekik kaget ia berdiri dari duduknya. "BENARKAH?!" Senyuman leganya tidak bisa ditahan.
"Hey bukankah kau terlalu bahagia karena mereka tidak saling mencintai?" selidik Leon curiga.
"Aku hanya terkejut itu saja." Nara duduk kembali mencoba bersikap tenang membuat kekehan Bara terdengar.
Sebenarnya bohong bila Nara berkata ia tak bahagia dengan pernyataan Bara tadi, pasalnya setelah lelaki itu mengatakan dia cantik, Bara tidak bisa menghilang dari bayang-bayang ingatannya. Jadi bisa diakui, ia senang.
"Satu Rahasiamu terungkap," ujar Zevan menanggapi membuat Leon mengangguk menyetujui.
"Benar sekali, berapa banyak lagi rahasia yang kau sembunyikan Bar?"
"Mungkin, satu lagi?" jawab Bara santai membuat Leon geram dibuatnya.
Kenapa lelaki itu tidak bisa membongkar rahasia bahkan kepada temannya sendiri? Mungkin ada satu rahasia yang tidak bisa dikatakan kepada siapapun, meskipun kepada teman terdekat.
"Padahal kalian sudah bertunangan, tapi tetap tidak saling suka,"
"Memang cinta tidak bisa dipaksakan," tambah Bian.
Kalimat itu menyinggung hati Raina, kalimat yang sama dikatakan oleh Bian kemarin untuknya, kalimat yang menyakitkan dan tidak ingin ia dengar lagi di telinganya.
Raina berdiri dari duduknya.
"Aku masuk ke apartemen dulu." Ia memilih menghindar.Semua orang menatap sunyi punggung kepergiannya, semua orang paham alasan gadis itu pergi terutama Zevan yang tidak sengaja mendengar percakapan Raina dan Bian kemarin di rumah sakit.
Zevan menatap Bian.
"Jangan memberi harapan, bila tidak ada kepastian."
.....
TBC.
KAMU SEDANG MEMBACA
Halo Tetangga!
Teen FictionRaina datang sebagai tetangga dari keempat lelaki tampan itu. Di apartemen tua, dimana terdapat empat lelaki yang berwujud layaknya seorang pangeran dingin itu mulai terusik dengan kehadiran seorang gadis lancang yang tiba-tiba muncul sebagai tetang...