48 | Kacau

757 94 0
                                        

Di lorong apartemen, ketiga manusia itu tengah berdiam diri terlalu larut dalam isi pikirannya sendiri mengabaikan tentang waktu yang terus menghitung kebekuan mereka.

"Masih belum ada kabar?" tanya Raina memecah keheningan setelah sejuta detik mereka berdiam.

Bian menggeleng.
"Handphone nya tidak aktif."

Leon berjongkok kala menyadari lututnya sudah melemas, sedangkan Zevan masih setia bersandar di dinding sembari menutup mata, lelaki itu tidak tidur, ia tengah sibuk menerka-nerka di dalam batin.

"Ah! Sebenarnya ada apa dengan Bara?! Kalian ada yang tahu?" pekik Raina mulai khawatir karena sudah 1 hari sejak insiden hilangnya Bara bersama para lelaki berbaju hitam.

"Aku tidak tahu," jawab Zevan, masih memejamkan mata.

Leon juga menggeleng, sedangkan Bian terdiam. Ia tahu semua rahasia Bara, karena dialah yang menyembunyikan lelaki itu di apartemen Asakita karena rasa iba.

"Bara pasti baik-baik saja."

Ucapan Bian mengundang atensi Zevan. "Bagaimana kau tahu?"

"Karena aku yang paling tahu soal Bara."

Leon terkekeh miris. "Sebenarnya kau menganggap kita apa?"

"Sepertinya hanya aku yang mengira bahwa kita adalah teman," tambahnya dingin.

Raina tak bisa berucap apapun, ia tidak pernah melihat sisi dingin Leon yang seperti ini.

"Kita memang teman," tanggap Bian membuat Leon berdiri dan menatap tajam manik mata Bian.

"Omong kosong,"
"Teman tidak memiliki rahasia!"

Setelah mengatakan itu Leon memalingkan muka, lalu tertawa kecil lagi. "Hahaha, kenapa aku menunggunya?"

"Dia saja tidak menganggapku sebagai teman, kenapa aku harus menunggunya?" kekehnya sebelum melangkah pergi.

Pejaman mata Zevan terbuka.
"Bara pasti punya alasan."

Leon menoleh. "Oh! Tentu pasti dia punya alasan untuk tidak mempercayaiku!" Mengabaikan perkataan Zevan, Leon melanjutkan langkahnya menuju apartemen.

Namun langkahnya terhenti setelah netranya menangkap seorang lelaki yang keberadaannya telah ditunggu-tunggu, ia berjalan menuju mereka, dengan beberapa lebam luka yang menodai wajahnya, Bara terus melangkah dengan tatapan mata penuh amarah, tangan yang terkepal kuat membuat barisan urat terpampang jelas di lehernya.

Bara berjalan melewati Leon yang terdiam, ia menghentikan langkahnya tepat di hadapan Raina.

"ASTAGA BARA KAU DARI MANA SAJA?!" pekik Raina histeris.

Bara diam.

"Kenapa ponselmu tidak aktif?!"

Bara masih terdiam.

Kemudian tangan Raina terangkat memperhatikan sudut bibir Bara yang terluka. "Kenapa wajahmu bisa terluka?" Bara menepis tangan Raina kasar, membuat ketiga lelaki yang menyaksikan mengernyitkan alisnya seketika.

"Munafik," ketus Bara dingin.

Raina menautkan alisnya kebingungan. "Mㅡmaksudmu apa?!"

"Kau, ternyata munafik."

Bian menarik pergelangan tangan Raina, membiarkan gadis itu berada di belakang perlindungannya.

"Apa yang sedang kau bicarakan?"

Tak sedetik pun Bara menatap Bian, mata legam lelaki itu masih melekat pada Raina.

"Berapa banyak uang yang kau dapat setelah menjual rahasiaku, jalang?!"

BUGH!

"Apa maksudmu?!" tanya dingin Zevan setelah menambahkan satu luka di wajah Bara.

Bara yang tersungkur karena tinjuan keras Zevan yang tiba-tiba, ia berdiri dan terkekeh memegangi rahangnya.

"Aku baru ingat, kalau kau menyukai si jalang itu," ujar Bara membuat Zevan tersulut emosi.

Tangannya sudah terkepal kuat, tidak tahan ingin melempar satu tinjuan keras untuk Bara, namun Bian menarik mundur bahu Zevan mencoba menenangkan lelaki itu.

"Tenang," bisiknya.

"Sebenarnya jelaskan kenapa kau seperti ini, Bar?" Bian berusaha menengahi dengan tenang.

Bara membuang muka, ia menenangkan emosinya. "Kau tahu, Bian? Perempuan yang sedang kau lindungi itu membocorkan rahasia yang selama ini kita jaga!"

"Karena perempuan jalang itu aku terpaksa menjadi boneka si tua bangka lagi!" Bara menunjuk Raina penuh amarah.

Perasaan tenang Bian kini mulai memudar, ia mulai terdiam.

"Bara sepertinya kau salah paham, aku bahkam tidak mengetahui rahasiamu!" ungkap Raina mencoba membela diri.

Tentunya ia bukan seseorang yang mengungkap rahasia Bara, dan ia berhak untuk membela diri.

Mendengar kalimat yang terucap dari mulut Raina membuat Bara tertawa sekeras-kerasnya sebelum mimik wajahnya berubah menjadi dingin lagi sedetik setelah ia tertawa.

"Ya! Teruslah membuat wajah baru lagi, aku ingin tahu sebenarnya berapa banyak wajah yang kau punya?!"

Leon yang sedari tadi terdiam menyaksikan perkelahian mereka, ia melangkah mendekat, menghadap Bara.

"Seharusnya kau mengaca, siapa yang memiliki banyak wajah disini," ujar Leon sarkasme.

"Kau menjadi boneka? Hahaha, syukurlah daripada manusia tidak memiliki perasaan sepertimu masih berkeliaran di dunia!"

Dugh!

Bara menarik kerah baju Leon, lalu melempar tubuh lelaki itu ke dinding. "Jangan ikut campur urusanku dengan si jalang itu!"

BUGH!

Bara tersungkur di lantai, matanya memburam memperhatikan Zevan yang menghampirinya dengan kepalan tangan yang sudah mengeras, dan dengan tatapan lekat penuh amarah. Lelaki itu melampiaskan semua rasa amarahnya dengan berbagai pukulan yang semakin melukai wajah tampan Bara. Bara sudah tidak mempunyai tenaga lagi untuk melawan, ia juga berniat untuk tidak melawan, sekalipun ia harus mati di tangan Zevan, ia tak masalah, karena lekaki itu benar-benar tidak ingin meneruskan hidupnya lagi sekarang.

Semuanya terasa begitu hampa.

"Sudah kubilang jangan melewati batas!"

Bugh!

Untuk kesekian kalinya, kepalan tangan Zevan mendarat kasar di pipi Bara yang sudah terlumuri banyak tetesan darah.

"ZEVAN CUKUP!!" teriak Raina, ia mulai terisak tak berani membuka matanya.

Tangan Zevan terhenti seketika, ia berdiri lalu pergi melenggang begitu saja, ia tak memastikan keadaan Raina, karena Zevan tahu bila dirinya melihat Raina menangis mungkin amarahnya akan tersulut dan emosinya akan tidak bisa dikendalikan lagi. Leon juga melangkah pergi memasuki apartemennya, Bara mencoba bangun lalu memilih pergi setelah menatap Raina yang masih menangkupkan kedua tangan ke wajahnya dan terisak, dan Bian yang masih terdiam.

Kini semuanya pergi, menyisahkan Bian dan Raina di lorong yang sunyi, hanya suara isakan Raina yang kini mulai menyurut sepi.

Bian mendekatkan langkah ke arah Raina, membuat gadis itu mendongakkan kepala menatap wajah dingin Bian yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.

"Semuanya menjadi kacau, karena keberadaanmu."

.....

TBC.

Halo Tetangga!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang