klan·des·tin adv secara rahasia; secara gelap; secara diam-diam
=
"Saya Choi Soobin, mulai hari ini jadi tutor kamu---"
"Cepet selesaiin les ini dan kita balik ke kesibukan masing-masing."
"... Kesibukan saya ya kamu."
"Dan gak usah sok formal."
sta...
Sesungguhnya segenap jiwa dan raga sudah siap atas apapun yang akan dihadapi setelah pintunya terbuka. Tapi keberaniannya terserap dinginnya lantai yang ia pijak di bawah sepatu mokasin lembut yang seharusnya telah melindunginya dari rasa membeku yang terus menanjak tubuhnya.
Anna siap seperti apapun pria bernama Park Jimin itu berwujud.
Tapi bukan berarti pria yang hari itu, di depan matanya, memasak jalur tukar udara manusia lain tanpa gentar, bisa lolos dari kriteria kesiapannya.
Penampilannya berbeda.
Park Jimin berasal dari kalangan atas.
Jadi menyingkat seluruh bimbangnya, mendahulukan senyum resminya tampil, Anna melangkah dari batas pintu menghampiri sosok berkharisma terang megah di tengah lobi.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pada kesempatan berikutnya, mari dengarkan saja semua saran Felix.
Omnya Kak Soobin...
Mantan temen kerjanya agen-agen...
Dia ke sini buat apa?
Anna menyertakan Agen N di sisinya. Semula berjaga jikalau orang bernama Park Jimin akan membuat sambaran petir meruntuhkan apartemen ini.
Rupanya membawa sebuah tas.
Brangkas portabel, ya.
Apa? Bom?
"Selamat sore, Pak," sapa Anna mengukir baik-baik senyum manis yang harus dipasangnya untuk waktu yang tidak sebentar malam ini.
Tamu terhormatnya berdiri membalas sapa yang sama, senyum yang sama, jabat tangan yang tegas.
Tidak setinggi kekasihnya, tapi pria ini cukup tinggi untuk menyandera leher dan memotong napas Anna tanpa celah seperti yang diperbuatnya tempo hari.
Satu detik pertama Anna menghadapinya duduk berbatas meja tamu yang tersaji minuman dan hidangan ringan, kejutan yang lainnya harus lagi Anna terima.
Park Jimin menundukkan kepala dan membungkuk sudut tajam dalam duduk bersikapnya, berkata dengan suara rendah menurun nada. "Pada pertemuan sebelumnya saya mohon maaf, meninggalkan kesan yang sangat tidak berkenan." Dan kembali mengangkat kepalanya, menumpulkan matanya, menatap penuh sesal ke arah meja.
"Saya kira kepala saya mau ditembak."
Ancaman itu tidak pernah sedikitpun menggetarkan amigdala dalam tubuhnya sedikitpun.
Balasan tidak terdengar dari pemilik lisan terkunci rapat yang belum lagi mengangkat pandangnya menatap tuan rumah yang memberinya sarkas penjelas beda pijak harga hunian yang mereka tempati.
Meski Anna tak tahu.
Yang Anna tahu, kepala tertunduk penuh segan selalu ada di bawahnya atas apapun.