Bab 2

23.6K 2K 28
                                    

"Ayah? Er mimpi ketemu Ayah?" tanyaku pada Er sambil berjongkok menyamakan tinggiku dengannya.

"Nggak Bunda! Ayah dah datang! Ayah nggak jadi meninggal!" serunya padaku.

Er ini meskipun masih sulit mengucapkan 'R' tetapi bicaranya sudah lancar. Kosa katanya juga sudah banyak seperti anak usia lima tahun. Aku angkat tubuh Er dan berdiri. Kupandangai semua yang berada di ruang keluarga. Mencoba memahami apa yang terjadi. Suasana hening. Masing-masing berusaha untuk tidak melihat Er dan aku. Mama terlihat menunduk menghapus air matanya. Mbak Ratih mengusap-usap punggung Mama menenangkan.

Semuanya terdiam. Lalu seseorang yang tadi bergelung dengan Er berdiri dan menghampiriku. Meskipun belum pernah bertemu aku tahu pasti dialah Mas Krisna. Perawakannya, wajahnya mirip banget dengan Mas Juna. Hanya Mas Krisna lebih tinggi sedikit juga terlihat lebih santai dan bersahabat. Tidak seperti Mas Juna yang kaku.

"Hai Karin ya? Krisna. Lama nggak ketemu ya," katanya sambil mengulurkan tangannya padaku.

Lha... kan emang kita belum pernah ketemu, batinku. Oiya dulu sudah pernah ketemu kok, lewat skype.

"Karin, Mas," balasku. Er masih kugendong dengan kepala menghadap ke belakang, tangannya dikalungkan di leherku.

Aku berpandang-pandangan dengan Mas Krisna dan melirik Er yang memelukku dengan erat tanpa mau melihat yang lainnya, sepertinya aku memahami apa yang sebenarnya terjadi.

"Hai sayang, mana tadi katanya Ayah sudah pulang?" tanyaku menggodanya sambil menepuk-nepuk punggung Er. Maksudku agar suasana tegang menjadi cair. Tetapi yang ada Er malah menangis.

"Ayah nggak jadi meninggal! Bunda jahat!" jeritnya sambil terus memelukku. Dia menangis tersedu-sedu.

Aku memang tidak pernah mau membohongi Er. Dari awal ayahnya meninggal aku selalu bilang kalau ayahnya sudah pergi dan tidak akan kembali lagi. Menyakitkan memang tetapi menurutku itu lebih baik. Dari pada membohonginya. Aku sering kesal karena Mama sering membohongi Er dengan mengatakan ayahnya sedang pergi dan suatu saat akan kembali. Katanya biar saja toh nanti ketika sudah agak besar dia bisa nalar sendiri. Namun akunya yang jadi repot ditanya Er terus kapan Ayah pulang. Aku juga tidak mau memupuk harapan kosong untuk Er. Kasihan. Akhirnya selalu seperti ini kalau aku bilang ayahnya sudah menginggal dan tidak akan kembali lagi dia akan menangis menjerit-jerit.

"Bunda nggak jahat, sayang. Ayah Juna memang sudah nggak akan kembali, Er. Tetapi sekarang ada Ayah Krisna yang akan selalu ada untuk Er. Yuk, ikut Ayah. Tadi kita belum selesai buka gift dari Ayah kan?" bujuk Mas Krisna mengambil alih suasana sambil berusaha menarik Er dari gendonganku.

Akhirnya Er pun mau digendong Mas Krisna.

"Janji ya, Ayah nggak akan ninggalin El lagi," katanya masih terisak.

Aku pun menghela nafas panjang. Sepertinya selesai masalah satu akan muncul masalah berikutnya. Bagi Mama, aku ini orangnya kaku. Tidak mau mengalah pada Er untuk sedikit berbohong mengenai keadaan ayahnya yang sudah meninggal. Aku diminta mengarang apa saja yang penting Er tidak menangis ketika menanyakan ayahnya.

Padahal aku ingin mengajari Er sejak kecil untuk jujur dan bisa menerima kenyataan apapun dalam hidupnya. Apakah aku salah? Sekarang tambah masalah lagi. Er pasti akan ketergantungan pada Mas Krisna. Ini akan menyulitkan posisiku.

Aku melangkah menuju sofa set di depan televisi. Ada Mama yang sudah tenang, Mbak Ratih, Gita dan Bima anaknya Mbak Ratih, dan seorang wanita cantik yang sedang ngobrol dengan Papa. Aku menyalaminya satu-satu.

"Sita," kata wanita cantik yang tadi sedang ngobrol dengan Papa.

"Karin," sahutku sambil menyalaminya hangat.

Ketika Cinta Tak Mengenal Basa-basiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang