"Lho! Yang lainnya nggak ikut?" tanyaku sambil menoleh kepadanya setelah mobil ke luar gerbang perumahan. Aku pikir setelah dari rumahku balik dulu ke rumah Mama dan berangkat bareng dengan yang lainnya ke Water Blaster.
"Menurutmu? Gita jelas udah nggak bakal mau. Bima juga. Kenapa?" Dia menoleh ke arahku. Mungkin membaca raut mukaku yang keberatan.
"Aku kira kita mau rame-rame main air. Kalau gitu harusnya Mas nggak usah pergi saja. Aku bisa ajak Er berdua pergi ke sana. Tidak perlu merepotkan Mas Krisna."
"Kamu takut?" tanyanya sambil tersenyum kecil tanpa melihatku.
"Eh. Takut kenapa?"
"Ya siapa tau kamu takut cuma pergi berdua denganku. Eh bertiga dengan Er."
"Ngaco!" jawabku keki. Kok ketahuan ya kalau aku tuh takut cuma pergi bertiga begini. Sebetulnya bukannya takut. Khawatir saja. Secara hukum agama dia sudah bukan kakak iparku kan? Lagian dia sudah punya pacar. Nggak enak aja nanti sama pacarnya.
"Nggak usah takut. Aku ini kan kakakmu. Sampai kapanpun Er itu keponakanku. Jadi bagiku kamu juga tetap adik iparku meski adikku sendiri sudah nggak ada."
Aku mengangguk-angguk. Syukurlah kalau dia berpikiran begitu. Bagaimanapun juga statusku janda, aku harus selalu berhati-hati agar tidak menimbulkan prasangka macam-macam. Bukankah dunia itu kejam terhadap status janda? Jaangankan janda cerai, janda ditinggal mati pun banyak yang nyinyirin. padahal kan bukan kemauan kita untuk jadi janda. Atau aku yang terlalu khawatir ya?
"Sudah, tidak usah berpikiran macam-macam. Santai saja, Rin. Yang penting Er senang," bujuk Mas Krisna. Mungkin dia tahu kegalauanku.
Er yang sedang duduk santai dipangkuanku begitu merasa namanya disebut langsung tegak dan menoleh ke Mas Krisna.
"Ada apa, Yah?" tanyanya kepo. Mas Krisna yang ditanya menoleh dan tersenyum pada Er.
"Nggak apa-apa. Er seneng kan kita mau renang?" tanya Mas Krisna. Er mengangguk antusias.
"Semalam Er rewel nggak ya tidur sendiri di rumah eyang?" tanyaku mengganti topik pembicaraan.
"El nggak lewel, Nda!" Tiba-tiba Er nyeletuk. Dia menengok ke belakang memandangku protes.
"Oya? Pinter berarti ya?" godaku sambil nyium pipinya yang gembil.
"El pintel, Nda," katanya sambil menyenderkan punggungnya ke badanku. Aku peluk erat. Gemas.
Mas Krisna tertawa sambil mengulurkan tangannya mengacak-acak rambut Er.
"Pinter dong, kan ada Ayah," kata Mas Krisna.
Sepanjang perjalanan menuju Water Blaster kami ngobrol apa saja. Ternyata Mas Krisna enak diajak ngobrol. Aku yang awalnya agak menjaga jarak akhirnya turut larut dengan obrolan santainya.
Aku amati Mas Krisna lebih mirip dengan Mbak Ratih. Lebih santai dan terbuka. Juga mirip dengan Papa. Meskipun intelek tetapi mau ngobrol hal-hal receh denganku. Tidak mengunggul-unggulkan dirinya sendiri ataupun keluarganya yang memang sudah unggul. Berbeda dengan Mama. Mama lebih mirip Mas Juna. Orangnya serius dan kaku. Obrolannya selalu berkisar masalah pendidikan dan pencapaian seseorang dalam karier. Kurang bisa bergaul dengan orang-orang kebanyakan seperti keluargaku ataupun teman-temanku. Meskipun Mama dan Mas Juna baik tetapi karena sifatnya seperti itu membuat banyak orang sulit akrab dengan mereka berdua.
Dulu aku selalu kebingungan mencari alasan pada ibuku ketika kami pulang ke Purwokerto Mas Juna selalu menginap di hotel dan tidak pernah mau menginap di rumahku. Alasannya nggak enak sama Ibu karena Ibu harus menyiapkan segala hal untuk keperluan kami tidur di sana. Padahal wajar saja selayaknya orang tua didatangi anaknya pasti menyiapkan segalanya dari makanan sampai rumah juga dibersihkan terutama kamar anak-anaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Cinta Tak Mengenal Basa-basi
RomanceKarina 28 tahun, seorang wanita muda, sederhana, single parent, mempunyai putra berusia tiga tahun, Erlangga. Meskipun ditinggal suami untuk selamanya dia berusaha menjalani hidup dengan bahagia. Setelah enam bulan hidup sendiri, tiba-tiba kakak ip...