"Rin, kamu dimana?"
"Ya di kantor lah. Kenapa, Mas?"
"Oke. Kamu minta ijin pulang duluan, ya. Lima belas menit lagi aku sampai kantormu. Aku jemput."
"Memangnya kenapa?" Klik. Telefon diputus.
Aku dial nomornya Mas Krisna tapi nada sibuk. Aku langsung panik. Ada apa ini? Yang aku pikirkan pertama kali adalah Erlangga. Instingku ada kaitannya dengan Erlangga. Aku hubungi nomor Mbak Sumi tetapi tidak diangkat.
"Karin, ada apa?" tanya Desy melihat aku begitu panik.
"Des!" aku mengangkat kepalaku memandang Desy yang kebingungan. Mataku sudah berkaca-kaca. "Mas Krisna nelefon, lima belas menit lagi jemput aku. Aku diminta ijin. Aku tanya kenapa tetapi ponselnya sudah dimatiin. Aku kok deg-degan Des. Apa ada hubungannya dengan Er ya? Suaraku bahkan tercekat oleh tangis yang sudah ingin keluar saja.
Aku betul-betul takut. Sudah pernah mendapat telefon seperti ini membuatku curiga. Aku langsung cepat-cepat berdiri. Ketika mau ke kasir, Desy mencegahku.
"Kamu langsung saja ke ruangan. Ijin ke Bu Dina. Makanan ini aku yang urus. Sana!" perintah Desy sambil mendorongku untuk segera keluar dari kantin.
Akupun segera meninggalkan kantin yang diikuti pandangan beberapa orang yang mungkin dari tadi mendengar percakapanku dengan Desy.
Sampai di ruangan masih sepi. Hanya ada Pak Indra dan Rully yang sedang mengerjakan entah apa tetapi terlihat serius.
"Pak, Bu Dina kemana ya?" tanyaku pada mereka.
Sepertinya mereka serius sekali sehingga tidak mendengar pertanyaanku. Akhirnya aku diamkan saja dan menuju mejaku untuk membereskan meja dan memasukkan laptop kedalam laci. Aku memang jarang membawa laptop ke rumah kecuali hari Jumat. Karena permintaan data tidak mengenal hari libur jadi weekend laptop aku bawa pulang.
"Kamu tadi tanya apa, Karin?" Tiba-tiba Pak Indra bertanya padaku. Mungkin baru menyadari kehadiranku dan sadar kalau sebelumnya aku bertanya padanya.
Aku menghentikan gerakanku dan menatap Pak Indra.
"Bu Dina kemana, Pak? Saya mau minta ijin pulang duluan. Barusan ditelefon dari rumah kalau saya akan dijemput. Entah ada apa saya juga belum tahu," jelasku panjang lebar agar terinfokan dengan jelas alasanku pulang awal.
Penjelasanku itu berhasil mengambil alih perhatian dua makhluk yang sedang serius di depan laptop Rully tersebut.
"Enggak ada apa-apa kan, Mbak?" tanya Rully was-was.
"Semoga enggak, Rul," jawabku dengan memaksakan senyum yang aku yakin kurang tulus.
"Nanti aku sampaikan Bu Dina. Kayaknya tadi ke ruangan Pak Kadis mendampingi Pak Gun. Sebaiknya kamu membawa laptop, Rin. Takutnya besok kamu juga enggak masuk, dan ada data-data yang dibutuhkan," ucap Pak Indra yang aku pikir betul juga.
"Baik, Pak."
Aku pun membereskan laptop dan kumasukkan ke dalam tas ranselku. Aku lihat Pak Indra dan Rully masih menghentikan aktivitasnya dan menatapku tanpa berkedip.
"Mari, Pak, saya izin dulu," kataku sopan yang diangguki oleh Pak Indra.
Baru saja keluar lifft ponselku berbunyi. Tidak kuangkat karena yakin itu panggilan dari Mas Krisna. Aku langsung berlari menuju pintu lobby dan kulihat mobil Mas Krisna sudah berhenti tepat di depan pintu lobby.
Begitu aku mendekat ke mobil, jendela mobil terbuka dan kulihat Erlangga melambaikan tangan padaku. Ya Allah, aku langsung merasa lega. Puji syukur anakku sehat-sehat saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Cinta Tak Mengenal Basa-basi
RomanceKarina 28 tahun, seorang wanita muda, sederhana, single parent, mempunyai putra berusia tiga tahun, Erlangga. Meskipun ditinggal suami untuk selamanya dia berusaha menjalani hidup dengan bahagia. Setelah enam bulan hidup sendiri, tiba-tiba kakak ip...