Hari Minggu sehabis Subuh aku keluar rumah untuk joging. Aku hanya olahraga seminggu sekali pada Minggu pagi. Hari Sabtu meskipun libur aku gunakan untuk bangun siang sepuas hati. Biasanya aku hanya joging mengelilingi danau buatan di belakang komplek perumahanku. Meskipun lokasi danau di luar klaster perumahan tetapi masih menjadi bagian dan fasilitas penghuni perumahan.
Danau itu juga bisa diakses oleh orang luar asal mempunyai teman atau keluarga yang tinggal di perumahanku. Pagi ini aku janjian dengan Desy untuk joging bersama. Sudah sejak dulu Desy sering memanfaatkanku untuk bisa joging di danau tersebut. Kalau Minggu pagi suasana sangat ramai. View yang indah dilengkapi dengan joging track yang nyaman mengelilingi danau serta beberapa sport area yang disediakan pengembang membuat area itu menjadi area favorite penghuni komplek perumahahan.
Membutuhkan waktu sepuluh menit untuk mencapai lokasi dengan berjalan kaki dari rumahku. Suasana masih agak gelap. Bapak-bapak yang salat Subuh jemaah di masjid ada yang baru pulang. Dulu selalu berharap Mas Juna bisa selalu salat Subuh di masjid. Kebiasaan bapak dan kakak-kakakku salat Subuh di masjid membuatku berharap suamiku juga demikian. Bahkan tidak hanya salat Subuh, setiap bapak dan kakak-kakakku di rumah salat fardhu dilakukan di masjid. Namun, hal itu tidak dilakukan Mas Juna. Dia salat di masjid hanya salat Jumat dan salat Ied. Kecewa sih, tetapi bagaimana lagi. Syukur masih salat daripada tidak sama sekali.
"Hey!" Tiba-tiba seseorang menepuk bahuku dengan kencang dari belakang. Tidak usah menengok sudah tahu biang keroknya.
"Pelan bisa kaliii!" gerutuku kesal. Karena terus terang aku sempat kaget.
"Mana Adel? Katanya mau diajak?" Mataku mencari-cari sosok bayi mungil nan cantik yang biasanya dibawa Desy jalan-jalan pake stroller. Biasanya Desy membawa Adel, anaknya beserta suaminya. Suaminya yang akan jalan-jalan sambil mendorong stroller Adel dan Desy joging bersamaku. Memang istri solehah sekali dia.
"Semalam badannya agak anget. Jadi nggak boleh dibawa sama papah ganteng," jawabnya yang kuikuti dengan gerakan mau muntah.
"Dan kamu ke sini untuk joging ketika anakmu nggak enak badan? Sungguh ibu yang bertanggung jawab!" ujarku heran.
Aku tidak habis pikir dengan jalan pikiran Desy ini. kalau Er badannya anget enggak mungkin aku tinggal berkeliaran di luar.
"ENggak usah lebai! Sudah ada papahnya yang jauh bertanggung jawab dari emaknya untuk mengontrol si bayi. Lagian hanya anget Kariiin ... bukan panas yang kejang-kejang!" katanya asal.
"Bisa ya kamu ngomong gitu! Dasar emak nggak perhatian!" omelku.
Aku heran, punya kebaikan apa Desy di masa lalunya. Meskipun pernah ditinggal calon suaminya tetapi akhirnya mendapatkan Fahry sebagai suaminya. Fahry dan Desy bagai bumi dan langit. Selain ganteng, Fahry juga kalem, tenang, soleh dan kariernya juga melesat cepat dibandingkan kami teman satu angkatan prajabatan. Ya, meskipun Desy juga cantik tapi dia sangat barbar, kalau ngomong asal tidak pakai saringan, salatnya juga rajin kalau di rumah saja. Kalau ada Fahry terutama. Di kantor salatnya kalau inget. Makanya selalu aku ingetin kalau di kantor. Kalau tidak pasti bablas.
"Mending aku lah say, daripada kamu nggak pernah bawa Er. Biar bisa cuci mata kan kamu, Rin," tuduhnya kejam yang langsung aku pelototi.
Aku memang tidak pernah membawa Er untuk sekedar jalan-jalan di Minggu pagi begini. Gimana lagi. Er bangunnya selalu siang. Dulu aku sering mengajak Mas Juna untuk ikut jogging mencari udara segar sembari membawa Erlangga. Tapi Mas Juna tidak pernah mau. Karena Mas Juna hanya libur di hari Minggu makanya dia akan tidur sampai siang. Tentu saja Er jadi ikut-ikutan bangunnya siang.
"Justru aku sayang sama Er, jadi aku biarkan dia tidur sesuka hati," balasku sengit.
Heran deh, kalau bertemu dengan Desy kami selalu meributkan hal-hal yang tidak berguna. Namun, kami selalu mencari jikalau salah satu tidak ada. Ketika Mas Juna meninggal setengah tahun lalu, Desy juga yang setia mendampingi dan menghiburku. Bahkan Fahry mengijinkan Desy dan Adel menginap di rumahku sampai tujuh hari. Padahal waktu itu Adel masih kecil. Meskipun waktu itu ada ibuku dari Purwokerto datang untuk menemaniku selama seminggu tetapi kehadiran Desy lumayan membantuku untuk bangkit dari kesedihan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Cinta Tak Mengenal Basa-basi
RomanceKarina 28 tahun, seorang wanita muda, sederhana, single parent, mempunyai putra berusia tiga tahun, Erlangga. Meskipun ditinggal suami untuk selamanya dia berusaha menjalani hidup dengan bahagia. Setelah enam bulan hidup sendiri, tiba-tiba kakak ip...