Bab 13

15.7K 1.5K 30
                                    

Kubuka pintu pagar dan mempersilakan Mas Krisna yang sudah turun dari mobil untuk masuk. Dia memandangku dari kepala sampai ujung kaki membuatku risih dan merapatkan tanganku untuk memeluk tubuhku. Aku lupa tidak menyambar jaket atau cardigan rajut yang biasa aku pakai keluar apabila dalam posisi memakai baju tidur.  Aku hanya memakai daster kaos tipis selutut warna pink bergambar rapunzel. Masya Allah aku pasti terlihat seperti anak-anak.

"Lain kali kalau keluar rumah pakai baju yang sopan!" serunya tertahan sambil membuka jaketnya dan menyampirkannya di pundakku. Tiba-tiba dia menundukkan kepalanya hingga bibirnya sejajar dengan telingaku. "Kalau kamu berniat menggodaku, selamat, kamu berhasil! Masuk sana! Biar aku yang menutup pintu pagar!" perintahnya sambil mendorong tubuhku untuk segera masuk ke dalam rumah. 

Aku bergegas masuk ke dalam rumah dan langsung menuju kamar. Kuganti daster kaos rapunzel-ku dengan celana training dan kaos oblong yang cukup sopan. Ketika kembali ke ruang keluarga kulihat Mas Krisna sedang menjerang air di dapur. Mungkin hendak membuat kopi. Hmm, serasa rumah sendiri saja ya. Tubuhnya yang tinggi menjulang tampak mudah saja mencari sesuatu di kabinet atas. Kalau aku biasanya harus naik kursi kecil untuk mengambil sesuatu di situ.

"Cari apa, Mas?"

Dia menoleh dan tersenyum padaku. Bagian paling enak dilihat dari Mas Krisna adalah senyumnya. Ya ampun! Fokus Karin! Fokus! Aku menelan ludah sendiri. Baru aku perhatikan ternyata Mas Krisna memakai baju warna krem lengan panjang yang digulung sampai lengan seperti biasa. Dengan celana kain warna hitam semua terasa pas di tubuhnya. Persis Mas Juna. Selalu pas menggunakan apapun. Keren. Mas Juna yang keren. Batinku memastikan.

"Kamu enggak punya mi instan? Aku lapar banget. Tadi belum sempat makan malam."

"Belum makan malam? Kalau begitu Mas memasak air untuk apa? Mau memasak mi atau bikin kopi?"

"O, ini untuk bikin kopi."

"Kalau belum makan jangan minum kopi dulu, Mas. Tidak bagus untuk lambung. Aku bikinkan nasi goreng saja ya. Jangan mi instan." 

Aku mendekati pantry. Kubuka magic com dan masih ada nasi satu porsi cukup untuk Mas Krisna. Tanpa menunggu persetujuannya aku ambil bawang merah, bawang putih dan cabe dari kulkas. Dengan cepat kuhaluskan semua bumbu tersebut. Tidak lupa kemiri dan garam. Ya, Mas Juna suka nasi goreng dengan kemiri. Kalau aku nasi goreng tidak menggunakan kemiri tetapi menggunakan kencur. Rasanya segar. Namun, aku yakin selera Mas Krisna tidak berbeda jauh dengan Mas Juna. 

Kulihat Mas Krisna sedang menuangkan air yang sudah mendidih ke dalam segelas mug yang sudah berisi bubuk kopi dan gula. Lalu dia bawa ke meja bar stool yang berada di samping pantry. 

"Kopinya jangan diminum dulu, Mas. Makan nasi dulu. Tunggu sebentar. Enggak lama kok ini."

"Iya. Makanya cepetan. Sudah lapar ini," katanya sengaja biar aku panik karena diburu-buru. Persis dengan Mas Juna. 

"Iya, sabar. Telornya ceplok atau dadar? Dadar ya? Mas Juna sukanya dadar."

"Ceplok. Aku sukanya telor ceplok. Enggak suka dadar." Kok ngegas sih? Sewot nadanya.

Aku melihat ke arahnya. Dia menatapku lebih galak. Kenapa dia? Orang aneh.

"Sudah malam, kenapa Mas enggak pulang saja sih? Malah gangguin orang yang sudah mau tidur?"

"Di rumah enggak ada yang bikinin nasi goreng," jawabnya asal. Sudah tersenyum lagi dia. Mudah sekali suasana hatinya berubah.

Aku mencibirnya, tetapi mengapa hatiku  berbunga-bunga dia bilang begitu ya? Bukankah itu bukan kalimat pujian? Entahlah. Sepertinya aku mulai tidak bisa mengenali warna dan suara hatiku sendiri. 

Ketika Cinta Tak Mengenal Basa-basiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang