Aku dan Mas Krisna saling berpandangan. Tanganku terasa dingin. Cobaan apalagi ini? Baru juga merasakan sedikit kebahagiaan setelah bulan-bulan suram kulalui, sudah datang sosok yang mungkin bisa membuat hari-hariku suram kembali.
Mas Krisna tersenyum dan bangkit dari duduknya, mendekatiku dan mengusap kepalaku.
"Tenang aja, aku yang menghadapi Mama. Kamu di sini saja," katanya menenangkanku. Kemudian dia berlalu menuju ke arah pintu depan. Aku pun bangkit mengikutinya.
"Mbak, tolong jagain Er," pintaku pada Mbak Sumi dan bergegas menyusul Mas Krisna. Di sana, di ruang tamu kulihat Mas Krisna berdiri mematung menyaksikan sesuatu di luar dari kaca ruang tamu yang mengarah ke halaman depan. Aku pun ikut melihat apa yang dilihatnya.
Mama sedang bercakap-cakap dengan seorang laki-laki yang sepertinya akan bertamu ke rumahku. Aku segera ke luar. Sebelum menutup pintu depan aku menoleh ke belakang.
"Mas Krisna di sini saja. Aku yang keluar."
Tanpa menunggu jawabannya aku tutup pintu tersebut dan segera menghampiri Mama dan Dicky yang masih berdiri di dekat pagar rumah. Laki-laki yang sedang bercakap-cakap dengan Mama adalah Dicky.
"Mama? Dengan siapa ke sini?" sapaku ramah. Kuraih tangannya dan kucium sebagai rasa hormatku kepadanya.
"Karin ...." Mama tersenyum dan membelai kepalaku. "Sama Papa. Itu di mobil. Tadi sedang menerima telefon. Mau nengok Prof. Bambang ini lo. Sakit di Sardjito. Tapi mau mampir ke rumah Bulik Tari dulu," jelas Mama. Papa memang asli Jogja. Bulik Tari itu adik sepupu Papa yang menunggu rumah keluarga besar Papa di Jogja.
"Nanti sore pukul tiga sudah harus di Semarang lagi. Makanya pagi-pagi sudah sampai sini. Buru-buru. Ini cuma mampir sebentar nitip telur asin dan kue moachi kesukaan Er."
Mama mengulurkan satu bungkus plastik berisi telur asin dan kue moachi kepadaku.
"Kamu kenal sama Dicky juga? Katanya mau ngajak kamu keluar. Ya udah Mama langsung aja ya... Er masih tidur?
Aku mengangguk ragu. Maaf Ma, aku bohong. Aku melirik Dicky.
"Mama kenal Dicky?" tanyaku heran.
"Siapa yang nggak kenal dia. Anak muda berbakat. Fotografer handal majalah disain interior," jelasnya. "Oke, Mama pergi dulu ya. Tuh, Papa udah nungguin lama. Ayo Mas Dicky, jangan bawa Karin pergi jauh-jauh ya," goda Mama yang diangguki Dicky.
Aku terkesima. Kok Mama seperti membiarkanku akrab dengan Dicky. Bukannya Mama melarangku dekat dengan laki-laki hingga seribu hari Mas Juna. Ah, Mama tidak konsisten. Tapi protesku hanya dalam hati. Mana berani kusampaikan terang-terangan.
Aku mengikuti Mama hingga beliau masuk ke dalam mobil. Kulihat Papa mengangkat wajahnya dari ponsel yang sedang beliau lihat, tersenyum dan mengulurkan tangannya padaku. Kucium punggung tangannya dengan rasa hormat.
"Sehat Karin?" tanyanya.
"Alhamdulillah, Pa. Enggak mampir dulu?" tanyaku basa-basi. Padahal kalau diiyakan aku pasti kelabakan.
"Lain kali ya. Papa ada janji dengan Bulik Tari. Sekalian nengok Prof. Bambang yang sakit. Salam buat Er ya."
"Baik, Pa."
Papa duduk di depan di sebelah Pak Mul yang pegang kemudi, sedangkan Mama duduk di belakang. Mereka berdua membuka kaca mobil dan melambaikan tangannya padaku. Bagi orang yang tidak tahu pastilah mengira bahwa hubungan kami, mantan mertua dan mantan menantu sangat harmonis. Mungkin, memang seperti itu hubunganku dengan Papa Mama. Di luar konteks masalahku dengan Mas Krisna, hubungan kami memang baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Cinta Tak Mengenal Basa-basi
RomanceKarina 28 tahun, seorang wanita muda, sederhana, single parent, mempunyai putra berusia tiga tahun, Erlangga. Meskipun ditinggal suami untuk selamanya dia berusaha menjalani hidup dengan bahagia. Setelah enam bulan hidup sendiri, tiba-tiba kakak ip...