Bab 26

14.3K 1.5K 38
                                    

Matahari sore berwarna jingga perlahan turun ditelan cakrawala barat. Pemandangan yang sungguh indah dan sangat damai. Semakin sempurna dengan hembusan angin senja yang menyegarkan. Keindahan yang hanya bisa didapat di puncak paralayang Watugupit atau disebut juga Bukit Parang Endog yang menghadap ke Pantai Parangtritis, Yogyakarta.

Aku melirik Haura yang menyandarkan kepalanya di bahu Dimas kekasihnya. Aku tersenyum. Iya. Aku ini obat nyamuk bagi mereka. Dimas adalah atlit paralayang. Dia sering mengikuti kejuaraan paralayang dan beberapa kali menyabet predikat juara. Dia bergabung dengan unit kegiatan mahasiswa paralayang di salah satu universitas swasta bergengsi di Yogyakarta. Haura sendiri teman satu kampus denganku pada program pasca sarjana di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Baru kali ini setelah lebih dari empat bulan di Jogja aku mau menerima ajakan Haura untuk ikut Dimas latihan paralayang sekaligus menikmati sunset. Aku tersenyum. Berterima kasih pada Haura yang dengan gigih mengajakku ke sini sehingga dapat menikmati lukisan alam yang begitu indah.

Sudah hampir setengah tahun, lebih tepatnya lima bulan sejak obrolan terakhirku dengan Mas Krisna di Kemuning dulu. Aku sudah berusaha menepati janji. Setelah dari Kemuning aku langsung pulang ke rumahku dan tidak pernah muncul lagi di rumah Mama. Tidak pernah bertemu lagi dengan Mas Krisna. Mama dan Papa yang beberapa kali ke rumah untuk membicarakan masa depanku. Hmm, masa depanku yang masih abu-abu.

Ketika aku mendapat kabar kalau aku lolos mendapatkan beasiswa S2-ku di Universitas Gadjah Mada tempat aku menuntut pendidikan S1 dulu, aku bercerita kepada Mama. Mama sangat antusias mendengar kabar tersebut. Entahlah kegembiraannya apakah tulus untukku atau karena keinginannya untuk menjauhkanku dengan Mas Krisna mendapat jalan yang terang. Ah, aku jadi berpikiran buruk 'kan?

Mama Papa juga banyak membantu mengurus semua proses kepindahanku ke Jogja. Proses administrasi yang cukup menyita waktu, bolak-balik BKD-kantorku-UGM, membuatku sibuk dan tidak sempat memikirkan Mas Krisna. Karena tahun ajaran baru di UGM akan dimulai dua minggu setelah pengumuman dari BKD tersebut aku tidak mempunyai waktu lagi untuk memikirkan nasib cerita cintaku.

Dia pun memegang janjinya. Tidak menghubungiku sama sekali. Tidak menelefonku, tidak nge-chat, dan tidak datang ke rumahku. Tetapi aku tahu dia sering menghubungi Mbak Sumi untuk menanyakan kabarku dan Er. Aku tahu karena Mbak Sumi bercerita padaku. Padahal kata Mbak Sumi, dia sudah diminta berjanji untuk tidak menceritakannya padaku.

Mbak Sumi kok dipercaya, dia lebih setia kepadaku daripada Mas Krisna. Dia lebih melindungiku dengan selalu mengatakan bahwa aku baik-baik saja setiap kali Mas Krisna menanyakanku.

Dan aku juga tahu Mama bercerita pada Mas Krisna mengenai beasiswa dan kepindahanku sementara ke Jogja selama menempuh pendidikan. Karena dia rajin menanyakan persiapanku ke Mbak Sumi. Aku kasihan kepadanya. Atau sebetulnya aku kasihan pada diriku sendiri. Aku tidak menyangka Mas Krisna begitu memegang janjinya pada Mama untuk tidak menemuiku sampai waktunya tiba. Padahal hati kecilku menginginkan dia mencuri-curi waktu untuk sekedar menelefonku. Atau menemuiku tanpa sepengetahuan Mama. Ah, dia terlalu jujur. Apa sebetulnya dia tidak rindu padaku?

Waktu itu Mama masih sering mengajak Er untuk tidur di rumahnya. Bahkan sebelum keberangkatanku ke Jogja selama tiga hari Er dibajak Mama. Sulit mendefinisikan orang dengan kepribadian seperti Mama. Orangnya anggun tidak pernah membentak. Sayang kepada keluarganya. Eyang favorite bagi cucu-cucunya. Tetapi auranya begitu kuat dan tegas sehingga aku tidak pernah bisa membantah keinginannya. Mungkin begitu juga dengan anak-anaknya. Hanya Mas Krisna sebetulnya yang punya potensi untuk sedikit nakal tidak mengindahkan perintahnya. Namun, tetap saja untuk hal-hal tertentu dia tidak bisa apa-apa menghadapi mamanya.

"Gimana? Indah bukan?"

Aku menengok ke arah Dicky yang baru saja menghempaskan tubuhnya duduk tak jauh dariku. Dia masih asyik memperhatikan kameranya. Pasti melihat hasil jepretannya. Kami memang ramai-ramai datang ke sini. Bersama Dimas dan teman-temannya satu klub paralayang. Dicky sendiri sahabat Dimas sejak SMA. Dia sudah bekerja sebagai fotografer profesional di sebuah perusahaan internasional yang mempunyai cabang di Jakarta. Hobi yang menjadi mata pencaharian. Sesuatu yang sangat diinginkan setiap orang. Hobi yang dibayar menurut istilahku. Dicky, Dimas dan aku seumuran. Sedangkan Haura dua tahun dibawahku. Setelah lulus S1 Haura sempat bekerja di Nestle Jakarta. Tetapi baru dua tahun di sana dia keluar dan oleh orang tuanya diminta melanjutkan S2. Menurut Haura dia tidak betah kerja di Jakarta karena harus berjauhan dengan Dimas, pacarnya dari dia kuliah S1.

Ketika Cinta Tak Mengenal Basa-basiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang